Apakah Mengandalkan Herd Immunity Sebuah Solusi?
Dalam informasi yang berkembang di tengah masyarakat, terdapat wacana untuk membiarkan virus corona (SARS-CoV-2), penyebab wabah COVID-19, menyebar dan menginfeksi siapapun sehingga terbentuk herd immunity atau kekebalan komunitas secara alamiah. Apakah pembiaran itu merupakan solusi yang baik? Ada baiknya kita renungkan sejenak beberapa hal di bawah ini.
Di antara alasan munculnya wacana ini adalah tingkat kematian akibat COVID-19 dianggap rendah, kurang dari 5 persen. Tingkat kematian ini lebih rendah dibandingkan wabah oleh MERS-CoV yang menyebabkan 30% kematian penderita. Secara persentase memang rendah, tetapi coba kita lihat angka absolutnya untuk Indonesia.
Anggaplah untuk mencapai herd immunity diperlukan 70% populasi yang terinfeksi. Dengan asumsi penduduk Indonesia sebesar 250 juta jiwa, setidaknya terdapat 175 juta penduduk Indonesia yang akan terinfeksi. Jika kita asumsikan angka kematian di batas 3% saja, akan ada 5,25 juta penduduk Indonesia yang meninggal. Bayangkan, lebih dari 5 juta penduduk Indonesia akan meninggal.
Memang benar sekitar 80% yang terinfeksi akan membaik, tetapi sisanya akan membutuhkan perawatan yang berat di RS, bahkan memerlukan ventilator. Artinya, ada 20% dari yang terinfeksi atau 35 juta penduduk Indonesia yang sakit berat dan membutuhkan perawatan. Jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan kita yang sangat terbatas tentunya tidak memadai untuk menangani 35 juta pasien tersebut.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, bukan tidak mungkin yang pertama jadi korban justru adalah tenaga kesehatan sebagai garda terdepan. Jumlah personel terbatas, kasus yang semakin banyak, pasien membludak, alat perlindungan diri (APD) sangat minim, kelelahan yang bertubi-tubi, dan berbagai tantangan lainnya harus dihadapi tenaga kesehatan. Kalau sistem kesehatan negara kita lumpuh, siapa yang akan mengobati pasien-pasien? Tanda-tanda ke arah kelumpuhan sistem kesehatan kita sudah mulai tampak. Semoga saja tidak semakin parah.
Dalam teori herd immunity secara alamiah, semua bisa terinfeksi tanpa seleksi. Siapapun bisa terinfeksi tanpa terkecuali. Dalam kondisi ini, kelompok yang rentan jelas jadi korban. Bisa jadi mereka adalah orang-orang terdekat yang kita cintai. Sampai detik ini saja, bangsa kita telah kehilangan beberapa putra terbaiknya seperti guru besar, para ahli, dan tenaga medis andal. Bukan tidak mungkin akan menyusul orang-orang penting lainnya.
Karena tidak ada kontrol yang ketat, waktu berakhirnya kondisi di atas tentu susah diprediksi. Sampai berapa lamakah bisa membaik? Berapa banyak lagi korban? Berapa biaya yang dibutuhkan? Sungguh suatu ketidakpastian yang sangat berisiko tinggi.
Bukan tidak mungkin bisa pula terjadi reinfeksi (bahkan sudah ada laporan kasusnya) atau bahkan kemungkinan adanya mutasi virus menjadi lebih ganas. Hal ini akan menjadi bola salju yang terus menjadi semakin besar.
Kondisi ketidakjelasan demikian tentunya berdampak ekonomi yang berkepanjangan. Tidak ada investor yang mau masuk ke Indonesia lagi, dan sektor ekonomi berisiko semakin lumpuh. Tidak bisa dibayangkan betapa besar biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan kondisi tersebut.
Semoga Allah menghindarkan hal-hal diatas tidak terjadi di negeri ini. Dan semoga Allah memberi hidayah para pemimpin negeri ini untuk mampu bertindak benar dan tegas untuk mengakhiri pandemi. Barangkali karantina wilayah (lockdown) memang merupakan salah satu solusi terbaik bagi kita sekarang.
Penulis: dr. Adika Mianoki. Sp.S Neurologist
Alumni Ma’had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Pendidikan Dokter UGM, Ketua Umum Yayasan Pendidikan Islam Al Atsary