Ini Alasan Mengapa Tupperware Bangkrut
Tupperware, merek asal Amerika, yang terkenal di seluruh dunia dengan produk wadah penyimpanan makanan, mengalami masa-masa sulit yang akhirnya membawa perusahaan ke jurang kebangkrutan. Meski pernah mendominasi pasar dengan produk inovatif dan strategi pemasaran unik, Tupperware tidak mampu menghadapi tantangan bisnis modern. Ada beberapa faktor utama yang menjelaskan mengapa perusahaan ini mengalami kebangkrutan.
1. Perubahan Perilaku Konsumen Setelah Pandemi
Salah satu alasan utama mengapa Tupperware gagal bertahan adalah perubahan dalam perilaku konsumen. Menurut Ellya Syafriani dari Fast Company, setelah masa pandemi Covid-19 berakhir, kebiasaan belanja masyarakat telah bergeser secara drastis. Konsumen kini lebih banyak berbelanja secara online melalui platform e-commerce atau marketplace, yang menawarkan berbagai pilihan produk dengan harga yang kompetitif. Tupperware, yang mengandalkan model penjualan langsung melalui agen, tertinggal dalam menyesuaikan diri dengan tren belanja modern.
Sebenarnya penjualan Tupperware di masa pandemi justru meningkat. Karena ketika itu orang-orang terbiasa dengan memasak di rumah dan menyimpan makanan dengan wadah-wadah. Namun setelah pandemi, masyarakat mulai kembali ke gaya hidup yang lebih praktis dan sering makan di luar, sehingga mengurangi kebutuhan akan wadah penyimpanan makanan di rumah. Sehingga penjualan Tupperware mulai tahun 2021 menurun drastis dan tidak mengalami perbaikan hingga tahun ini.
2. Persaingan Pasar yang Meningkat
Menurut Muhamad Aghasy Putra, kolumnis detikFinance, persaingan yang ketat di pasar juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebangkrutan Tupperware. Saat ini, ada banyak produsen wadah penyimpanan makanan, baik dari merek lokal maupun global, yang menawarkan produk dengan harga lebih terjangkau. Produk-produk tersebut tidak hanya tersedia di supermarket tetapi juga dengan mudah ditemukan di berbagai platform online. Konsumen memiliki banyak pilihan yang lebih murah namun tetap berkualitas.
Selain itu, banyak perusahaan pesaing yang terus berinovasi dalam hal desain dan fungsionalitas produk. Misalnya, produk berbahan silikon yang lebih fleksibel atau wadah yang lebih aman digunakan dalam microwave dan freezer. Inovasi seperti ini menarik perhatian konsumen, sementara Tupperware terkesan stagnan dalam pengembangan produk, menyebabkan penurunan minat dari pelanggan setianya. Manajemen perusahaan dinilai gagal menyesuaikan strategi pemasaran dan distribusi dengan perkembangan pasar. Kesalahan manajemen ini berdampak langsung pada kemunduran bisnis dan ketidakmampuan perusahaan untuk mempertahankan pertumbuhan.
3. Utang
CRO Tupperware, Brian J. Fox, mengakui bahwa Tupperware dalam kondisi kesulitan keuangan, terutama karena penjualan yang terus anjlok. “Menghadapi kebutuhan likuiditas yang semakin mendesak dan tekanan operasional yang terus berlanjut, perusahaan memulai kembali upaya pemasaran untuk ketiga kalinya setelah akhir pekan 4 Juli,” ungkap Fox dalam dokumen pengadilan sebagaimana dikutip Bloomberg, Jumat (20/9/2024).
Tupperware sendiri mencatat aset antara US$ 500 juta hingga US$ 1 miliar dan memiliki utang senilai US$ 1 miliar hingga US$ 10 miliar yang setara dengan Rp 167 triliun lebih, sebagaimana diungkap dalam pengajuan perlindungan kebangkrutannya. Tupperware kini menunggu keputusan pengadilan. Jika perlindungan kebangkrutan disetujui, Tupperware bisa terus menjual produknya sembari merencanakan proses penjualan bisnis mereka. Sebagaimana dipaparkan oleh CNN Indonesia.
Kebangkrutan Tupperware dapat dijelaskan melalui kombinasi dari beberapa faktor: perubahan perilaku konsumen yang lebih memilih belanja online, persaingan yang semakin ketat di pasar, manajemen yang kurang efektif, serta kurangnya inovasi produk. Meskipun Tupperware pernah menjadi pemain utama di industri ini, kegagalannya dalam beradaptasi dengan tren baru dan merespons tantangan pasar modern telah mengantarkannya pada kebangkrutan. Ini menjadi pelajaran penting bagi perusahaan lain untuk terus berinovasi dan memahami dinamika pasar yang selalu berubah.