Kontroversi Aplikasi World App di Indonesia

Dalam beberapa waktu terakhir ini aplikasi World App muncul dengan kontroversi di Indonesia. World App adalah sebuah aplikasi dompet digital yang terhubung dengan proyek mata uang kripto bernama Worldcoin. Aplikasi ini memungkinkan pengguna menyimpan aset digital, dan melakukan transaksi. Namun yang kontroversial, World App menerapkan metode registrasi melalui pemindaian bola mata dan menjanjikan imbalan uang sebesar Rp 395.000,- bagi pengguna baru di Indonesia. Hal ini memicu perdebatan sengit di Indonesia terkait privasi, etika, dan regulasi data biometrik.

Apa Itu World App?

World App adalah bagian dari proyek Worldcoin, yang didirikan oleh Sam Altman (CEO OpenAI) bersama Alex Blania. Proyek ini bertujuan menciptakan identitas digital global berbasis biometrik dan sistem keuangan universal berbasis kripto. Untuk mendaftar, pengguna harus memindai iris mata mereka menggunakan perangkat bernama Orb, yang akan menghasilkan ID unik dan anonim. Sebenarnya, mekanisme ini dinilai menarik dan dianggap sebagai solusi baru dalam manajemen identitas digital.

Aplikasi ini memungkinkan pengguna yang telah memverifikasi identitasnya menerima token kripto bernama WLD, sebagai bentuk insentif. Pengguna baru akan mendapatkan 25 WLD ketika selesai melakukan registrasi. 1 WLD sampai artikel ini ditulis senilai Rp 15.800,-. Sehingga 25 WLD bernilai sekitar Rp 395.000,- Proyek ini menyebut pendekatan ini sebagai bagian dari upaya membangun “identitas untuk semua” di era AI dan ekonomi digital.

Kontroversi di Indonesia

Kehadiran World App dan kegiatan pemindaian iris oleh tim Worldcoin menimbulkan kekhawatiran besar di Indonesia. Beberapa aspek yang menjadi sorotan adalah:

1. Pengumpulan Data Biometrik

Banyak masyarakat dan pengamat menilai pengumpulan data iris sebagai bentuk eksploitasi, terutama karena dilakukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Aktivitas pendaftaran dilaporkan terjadi di sejumlah pusat perbelanjaan, tanpa penjelasan teknis yang memadai soal keamanan data.

2. Kurangnya Transparansi

Pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen mengkritik kurangnya transparansi World App dalam menyampaikan bagaimana data biometrik disimpan, digunakan, dan dilindungi. Dalam konteks hukum Indonesia, perlindungan data pribadi masih dalam tahap transisi menuju penguatan melalui UU PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi).

3. Legalitas dan Perizinan

Otoritas di beberapa daerah menyatakan bahwa kegiatan Worldcoin tidak memiliki izin resmi dari lembaga terkait, seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) atau BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara). Aktivitas pemindaian biometrik tanpa izin berpotensi melanggar hukum dan dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan digital nasional.

4. Eksploitasi Ekonomi

Pemberian token WLD sebagai “imbalan” untuk data iris memicu kekhawatiran soal eksploitasi ekonomi digital. Beberapa pihak menilai masyarakat kelas bawah dijadikan target karena iming-iming kompensasi instan, tanpa pemahaman mendalam soal risikonya.

Respons Pemerintah

Menanggapi kontroversi ini, beberapa kementerian mulai menyelidiki kegiatan World App dan Worldcoin di Indonesia. Kementerian Kominfo dan BSSN telah meminta klarifikasi dan mempertimbangkan pembekuan kegiatan yang tidak sesuai prosedur.

Kontroversi World App di Indonesia mencerminkan benturan antara inovasi teknologi global dan perlindungan hak-hak digital lokal. Di satu sisi, teknologi identitas digital berbasis blockchain menjanjikan solusi baru di bidang finansial dan juga pengelolaan identitas. Namun di sisi lain, tanpa regulasi dan pengawasan ketat, teknologi ini dapat menjadi pedang bermata dua.

Ke depan, pemerintah Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang jelas mengenai penggunaan data biometrik dan teknologi identitas digital asing, agar masyarakat dapat terlindungi di tengah gelombang inovasi global.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *