“AI, Prompter, dan Akhir dari Dunia Lama: Tantangan Etika di Era Video Generatif”

Oleh: Ovide Decroly Wisnu Ardhi, S.T., M.Eng.
Beberapa tahun yang lalu, sulit membayangkan bahwa dunia perfilman, penyiaran, hingga periklanan bisa dijalankan tanpa aktor manusia. Kini, teknologi video generatif seperti Veo 3 dari Google telah membuktikan sebaliknya. Dari video promosi hingga film pendek, dari reportase hingga iklan komersial—semuanya bisa dibuat dengan kecanggihan AI, tanpa satu pun manusia tampil di layar.
Fenomena ini memunculkan istilah baru: “AI prompter”, yakni mereka yang bukan sekadar pengguna, tetapi juga kreator identitas visual. Mereka membangun brand karakter digital sepenuhnya fiktif namun begitu realistis, hingga publik sulit membedakan antara manusia dan ciptaan algoritma. Bahkan ketika para artis mencoba melindungi wajah dan atribut mereka lewat mekanisme hak cipta, hal itu bisa jadi tak lagi relevan jika aktor-aktor digital buatan AI punya karakter yang lebih menarik, lebih fleksibel, dan tak mengenal lelah.
Hal ini tidak hanya terjadi di industri kreatif. Di ranah teknologi, insinyur perangkat lunak di Microsoft kabarnya diberhentikan karena posisi mereka tergantikan oleh sistem AI yang ironisnya dibangun dari pemrograman mereka sendiri. Di masa depan, tidak hanya pekerjaan manual, tapi juga profesi intelektual dan kreatif akan menghadapi tekanan luar biasa dari kemampuan AI yang terus berkembang.
Sayangnya, di Indonesia regulasi etika AI masih jauh tertinggal. Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswi ITB menuai kontroversi setelah menciptakan gambar AI yang menampilkan figur publik seperti Pak Prabowo dan Pak Jokowi dalam pose tidak pantas. Di sebuah podcast, peristiwa ini dikaji sebagai bentuk kritik sosial terhadap masifnya promosi AI oleh para pemimpin negeri—tanpa diimbangi aturan yang jelas dan tegas soal etika penggunaannya.
Potensi penyalahgunaan AI sungguh mengkhawatirkan. Dari hoaks politik, iklan judi daring, hingga konten pornografi yang semakin sulit disaring. Video deepfake yang nyaris sempurna dapat merusak reputasi, menimbulkan ketegangan sosial, bahkan merusak fondasi kepercayaan publik terhadap informasi visual.
AI adalah teknologi revolusioner. Namun sebagaimana pisau bermata dua, ia bisa menjadi alat membangun peradaban—atau menghancurkannya.
Saatnya Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penjaga moral dan etika penggunaannya. Dibutuhkan kesadaran kolektif dan langkah nyata dari para akademisi, ulama, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil untuk mendesak regulasi Etika AI Nasional. Sebab masa depan tidak bisa ditunda, dan dunia yang kita kenal sedang berubah lebih cepat dari yang kita kira.
Catatan Penulis: Naskah ini ditulis kemudian dikembangkan menggunakan ChatGPT.
Ovide Decroly Wisnu Ardhi, lahir di Purworejo pada 03 Mei 1986. Gelar sarjana teknik elektro (2008) diperoleh dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta dan M. Eng dalam bidang Teknologi Informasi (2012) diperoleh dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini bekerja sebagai dosen di D3 Teknik Informatika, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu, aktif pula di Pusat Studi Ekonomi Islam, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Sebelas Maret