Mengapa Sangat Antipati Terhadap Pengobatan Medis Barat?
Dewasa ini, kadang kita jumpai sikap sebagian orang yang sangat antipati terhadap dokter atau pengobatan medis “ala Barat”. Menurut anggapan mereka, pengobatan medis adalah produk orang kafir atau orang Barat dan bertentangan dengan thibbun nabawi, “pengobatan timur”, atau bahkan bertentangan dengan aturan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadilah mereka sangat antipati terhadap dokter, dan juga produk-produk “kesehatan Barat” atau “produk-produk WHO” seperti obat-obatan kimia, injeksi (suntikan), tindakan operasi (pembedahan), atau vaksin, dan sejenisnya.
Akibatnya, ketika mereka atau keluarga mereka sendiri ada yang jatuh sakit, mereka lebih memilih untuk tidak berobat ke dokter. Jika penyakitnya tidak parah, mungkin tidak membahayakan jiwa. Namun sayangnya, beberapa di antaranya ternyata kondisinya semakin memburuk karena terlambat mendapatkan perawatan yang standar. Dan lebih disayangkan lagi, sebagiannya kemudian baru datang ke dokter ketika kondisi semakin kritis.
Pengakuan Imam Asy-Syafi’i terhadap Ilmu Kedokteran Yahudi dan Nasrani
Siapa yang tidak mengenal Imam Asy-Syafi’i rahimahullah? Seorang imam yang memiliki kedudukan di hati kaum muslimin, termasuk di Indonesia. Ternyata, beliau rahimahullah mengakui keunggulan ilmu kedokteran yang dikembangkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه.
“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu tentang halal dan haram (yaitu ilmu agama, pen.)– yang lebih berharga daripada ilmu kedokteran. Akan tetapi ahli kitab telah mengalahkan kita.” [1]
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pun menyesalkan kaum muslimin yang menyia-nyiakan dan lalai untuk belajar ilmu kedokteran. Beliau mengatakan,
ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.
“Mereka (umat Islam) telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (yang beliau maksud adalah ilmu kedokteran, pen.) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.” [2]
Lihatlah perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas. Beliau jelas mengakui keunggulan ilmu kedokteran yang ketika itu justru banyak dikuasai oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Jika ilmu kedokteran yang mereka kembangkan justru membawa mudharat (bahaya) bagi kaum muslimin dan bertentangan dengan ajaran agama Islam, tentu Imam Asy-Syafi’i akan mencelanya, bukan malah memujinya. Ini menunjukkan bahwa beliau tidaklah antipati terhadap pengobatan barat.
Ketika mengomentari perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdullah Ad-Sadhan berkata,
فرحم الله الإمام الشافعي ما أدق وصفه وأبلغ لفظه ، وانظر يا رعاك الله إلى قوله عن أهل الكتاب أنهم غلبوا على علم الطب ، ثم انظر إلى تلهفه وحسرته على تفريط المسلمين وصدق رحمه الله تعالى
“Maka semoga Allah Ta’ala merahmati Imam Asy-Syafi’i, betapa lembutnya ungkapan beliau dan betapa jelasnya perkataan beliau. Renungilah –semoga Allah menjagamu- perkataan beliau tentang ahli kitab. Sesungguhnya mereka telah unggul dalam ilmu kedokteran. Kemudian lihatlah kepada kesedihan dan penyesalannya atas kaum muslimin yang menyia-nyiakan (meremehkan belajar ilmu kedokteran, pen.). Maka benarlah (perkataan) beliau –semoga Allah merahmatinya-.” [3]
Hal ini lebih dipertegas lagi dengan perkataan Syaikh Muhammad Asy-Syinqithy rahimahullah –penulis kitab tafsir Adhwa’ul Bayaan- ketika menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’i di atas. Syaikh Asy-Syinqitiy rahimahullah berkata,
يعني احتاجوا إلى اليهود والنصارى
”Yaitu maksudnya, (kaum muslimin) butuh terhadap orang Yahudi dan Nashrani (dalam ilmu kedokteran).” [4]
Bolehnya Memanfaatkan Hasil Penelitian atau Pengalaman Orang Kafir dalam Urusan Dunia
Memanfaatkan hasil-hasil penelitian orang kafir dalam urusan dunia adalah diperbolehkan. Termasuk di dalamnya yaitu memanfaatkan hasil penelitian mereka dalam bidang ilmu kedokteran. Dalam salah satu fatwanya, Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul hafidzahullahu ta’ala mengatakan,
“Sesungguhnya tidaklah mengapa memanfaatkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan (pengalaman) orang lain dalam masalah duniawi dan juga dalam masalah kehidupan, meskipun berasal dari orang kafir. Dari Jadamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا
‘Sungguh aku berkeinginan untuk melarang kalian dari melakukan ‘al-ghilah’ (yaitu, menyetubuhi istri ketika menyusui). Maka aku melihat (orang-orang) Romawi dan Persia. Mereka melakukan ‘al-ghilah’ terhadap anak mereka, dan tidak membahayakan (anak-anak) mereka sedikit pun.” (HR. Muslim).
‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menulis buku kumpulan syair sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Persia, dan disetujui (tidak diingkari) oleh para shahabat (yang lain) –semoga Allah meridhai mereka-” [5].
Ketika menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,
قال العلماء سبب همه صلى الله عليه وسلم بالنهي عنها أنه يخاف منه ضرر الولد الرضيع قالوا والأطباء يقولون إن ذلك اللبن داء والعرب تكرهه وتتقيه وفي الحديث جواز الغيلة فإنه صلى الله عليه وسلم لم ينه عنها وبين سبب ترك النهي وفيه جواز
“Para ulama berkata bahwa sebab munculnya keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk melarang ‘al-ghilah’) adalah beliau khawatir bahwa tindakan itu akan menimbulkan bahaya bagi anak yang sedang menyusu (minum ASI dari ibunya). Para ulama mengatakan, ‘Para dokter (tabib) berkata bahwa (ketika suami menyetubuhi istri ketika masih menyusui) maka ASI akan menimbulkan penyakit. Dan orang Arab membenci dan menjauhinya.’ Di dalam hadits tersebut terdapat penjelasan bolehnya melakukan ‘al-ghilah’ karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya dan menjelaskan sebab tidak dilarangnya hal tersebut. Maka hal itu dibolehkan.” [6].
Lihatlah, Nabi shallallahu‘alaihi wasallam tidak melarang perbuatan menyetubuhi istri ketika menyusui berdasarkan pengetahuan beliau shallallahu‘alaihi wasallam terhadap praktek dan pengalaman orang-orang Romawi dan Persia yang notabene bangsa non-muslim. Lalu mengapa kita sangat antipati terhadap ilmu kesehatan mereka?
Semoga penjelasan yang singkat ini dapat membuka kesadaran sebagian kaum muslimin yang masih berpikiran sempit dan menganggap bahwa ilmu kedokteran medis saat ini tidak ada manfaatnya atau justru membahayakan jiwa manusia. Dengan segala keterbatasan ilmu kedokteran medis modern saat ini, para peneliti dan ilmuwan telah berusaha maksimal untuk terus meneliti jenis-jenis penyakit dan cara pengobatannya kemudian menerapkannya pada pasien dengan berpegang pada kaidah Evidence-Based Medicine (EBM) atau ilmu kedokteran berbasis bukti ilmiah. Ini adalah usaha maksimal manusia untuk menggapai kesembuhan dengan ijin Allah Ta’ala.
***
Diselesaikan usai shalat isya di Masjid Nasuha ISR Rotterdam, 9 Rabiul Awwal 1436
Yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,
M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Siyar A’lam An-Nubala 8/528 (Maktabah Asy-Syamilah).
[2] Idem.
[3] http://www.saaid.net/tabeeb/5.htm (diakses tanggal 9 Rabiul Awwal 1436).
[4] http://islamport.com/w/amm/Web/1583/866.htm (diakses tanggal 9 Rabiul Awwal 1436).
[5] http://mohammadbazmool.blogspot.ae/2014/10/blog-post_534.html (diakses tanggal 9 Rabiul Awwal 1436).
[6] Syarh Shahih Muslim, 10/16 (Maktabah Asy-Syamilah).
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.Or.Id
Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta (2003-2005). Pendidikan Dokter FK UGM (2003-2009). S2 (MSc) Erasmus Medical Center (EMC) Rotterdam dalam bidang Infeksi dan Imunologi (2011-2013). S3 (PhD) di EMC-Postgraduate School Molecular Medicine Rotterdam dalam bidang Virologi Molekuler (Nov 2014 – sekarang). Peneliti virologi dan imunologi di Universitas Gadjah Mada.
subhanalloh… smoga bisa membuka wawasan dan merubah pola pikir yg “anti pati” sama medis 🙂