Produksi Hidrogen dengan Tenaga Surya: Fotolisis Air Berbasis Semikonduktor

Tanah air kita dikaruniai curahan sinar matahari dengan intensitas yang relatif tinggi dibandingkan negara lain yang tidak tersentuh garis ekuator. Dalam skala global, daya dari sinar matahari yang mencapai permukaan bumi menembus angka 120.000 TW. Angka ini sangat fantastis mengingat kebutuhan energi dunia pada tahun 2014 “hanya” sekitar 18 TW.

Sayangnya, kontribusi energi surya hanya berkisar 2% dari total kebutuhan energi dunia. Padahal, jika kita bisa memanfaatkan 0,16% saja dari luas daratan di dunia sebagai stasiun pengonversi energi surya dengan efisiensi 10%, kebutuhan energi dunia akan tercukupi. Jika kita hanya berbicara pada konteks lokal Indonesia dengan fitur tropisnya, tentu perhitungan serupa akan menghasilkan angka-angka yang lebih menjanjikan.

Produksi hidrogen (H2) dengan fotolisis air

Paket energi foton yang berasal dari sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk memproduksi hidrogen melalui proses pemecahan molekul air (fotolisis air). Dengan kata lain, paket energi foton dikonversi menjadi energi kimiawi dalam bentuk hidrogen, yang berbeda dengan sistem sel surya. Pada sel surya, foton secara langsung dikonversi menjadi energi listrik tanpa ada perubahan kimiawi antara sebelum dan sesudah proses konversi energi. Hidrogen kini menjadi fokus dalam berbagai subjek riset energi alternatif karena hasil pembakarannya yang bebas dari emisi karbon sehingga lebih ramah lingkungan. Selain itu, hidrogen telah dikenal kerapatan energinya relatif lebih tinggi dari hidrokarbon.

Fotolisis air secara umum bisa dilakukan dengan bantuan makhluk hidup (contoh: alga) atau dengan material semikonduktor (contoh: TiO2). Material yang disebutkan terakhir akan menjadi fokus dalam artikel ini. Terpaparnya material semikonduktor oleh foton dengan tingkat energi yang sesuai akan menghasilkan eksitasi elektron (e) dari pita valensi (valence band, VB) ke pita konduksi (conduction band, CB), meninggalkan hole (h+) di pita valensi (lihat gambar).

Picture1

Selisih tingkat energi antara CB dan VB disebut dengan pita energi atau band gap (Eg) yang menentukan panjang gelombang maksimum dari spektrum cahaya yang bisa dimanfaatkan untuk mengekstrak e dan h+. Hal ini berarti Eg yang relatif kecil (< 3,0 eV) lebih disukai untuk bisa memanfaatkan porsi sinar tampak yang mendominasi sinar matahari. Namun, semakin kecil Eg, semakin besar kemungkinan rekombinasi e-h+ yang menyebabkan energi foton terbuang dalam bentuk kalor.

Pemilihan material semikonduktor biasanya didasarkan pada trade-off antara kemampuan menyerap porsi sinar tampak dari cahaya matahari dan kemampuan untuk menekan laju rekombinasi. Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah posisi CB dan VB. Supaya fotolisis air bisa terjadi, CB harus lebih negatif dari Eo(H+/H2) dan VB harus lebih positif dari Eo(O2/H2O), yang berarti bahwa Eg minimum yang disyaratkan adalah sebesar 1,23 eV. Beberapa aspek lain yang biasanya perlu diperhatikan adalah stabilitas dan ketahanan material semikonduktor terhadap kondisi operasi, kemudahan sintesisnya, dan aspek ekonomis material tersebut.

Sistem partikulat dan elektrode

Fotolisis air oleh semikonduktor bisa dibagi menjadi dua kategori: sistem partikulat dan elektrode. Pada sistem partikulat, fotolisis air berlangsung di dalam suspensi dan serbuk semikonduktor (photocatalyst) terdispersi di dalam larutan elektrolit. Photocatalyst biasanya dikombinasikan dengan co-catalyst (contoh: Pt) sebagai penangkap elektron untuk menghindari rekombinasi (lihat gambar).

Pada sistem elektrode, material semikonduktor digunakan sebagai photoanode dalam sebuah sel fotoelektrokimia, bersamaan dengan counter electrode yang fungsinya serupa dengan co-catalyst pada sistem partikulat. Berbeda dengan sistem partikulat, selisih potensial antara kedua elektrode (electrical bias) pada sistem ini bisa dimanipulasi untuk mengontrol laju rekombinasi e-h+. Electrical bias antara dua elektrode biasanya dihasilkan dari pengaturan potensial oleh DC power supply. Fotolisis air pada sistem elektrode ini bisa juga dintegrasikan dengan sel surya sebagai pengganti DC power supply sehingga keseluruhan suplai energi berasal dari foton

Sayangnya, pada sistem elektrode, luas area kontak elektroda-elektrolit sangat terbatas sehingga laju reaksi fotolisis air pun terbatas, sedangkan pada sistem partikulat luas area kontak fotokatalis-elektrolit relatif besar. Meski demikian, sistem elektrode memiliki keunggulan lain, yaitu kemudahan untuk material recovery, tidak seperti sistem partikulat yang membutuhkan proses separasi suspensi yang cukup kompleks. Berbagai modifikasi pun dapat dilakukan, baik dari aspek material semikonduktor (contoh: rekayasa morfologi untuk meningkatkan luas area kontak) maupun sistem reaksinya (contoh: penggunaan polutan organik sebagai hole scavenger untuk menekan laju rekombinasi).

Dari artikel yang singkat ini, semoga kita dapat memahami potensi produksi energi alternatif yang ramah lingkungan (hidrogen) dari sumber terbarukan (tenaga surya dan air). Terutama hal ini selayaknya dapat diaplikasikan di negeri kita yang telah diberikan karunia berupa potensi alamnya yang sangat menjanjikan.

Referensi:

  • International Energy Outlook 2013, http://www.eia.gov/forecasts/ieo/pdf/0484%282013%29.pdf

  • Smalley, R. Future Global Energy Prosperity: The Terawatt Challenge. MRS Bull., 2005. 30: 412-417

  • Currao, A. Photoelectrochemical Water Splitting. CHIMIA Int. J. Chem., 2007. 61: 815-819

Penulis:

Muhammad Ibadurrohman, lahir di Jakarta pada 18 September 1987. Gelar Sarjana Teknik (2009) diperoleh dari Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia. Gelar Master Teknik dan Master of Science and Engineering (2011) diperoleh melalui program dual degree di Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia dan Department of Chemical Engineering National Taiwan University of Science and Technology. Sebagai staf pengajar Departemen Teknik Kimia UI, saat ini sedang menempuh program doktoral (2012 – sekarang) dalam bidang fotoelektrokimia untuk produksi hidrogen di Department of Chemical Engineering, Imperial College London.

Webpage: http://www3.imperial.ac.uk/ceREaCT/people1/phdstudents/muhammadibadurrohman

Similar Posts

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *