Jihad Abad 21: Jihad Ilmu Pengetahuan (Bagian 2)

Oleh: Dr. Tjahjo Suprajogo, MSi*

* Ditulis tanggal 12-16 Januari 2019/5-10 Jumadil Uuula 1440 H untuk disajikan dalam Diskusi Bulanan Sesi ke1 “Studi Islam dan Ilmu  Pengetahuan” yang diselenggarakan Center for Islamic Studies and Sciences (CISS)/Pusat Studi Islam dan Ilmu Pengetahuan (PSI2P) di Aula PSI2P, Malang 20 Januari 2019 dan Ruang VIP IPDN Jakarta 10 Februari 2019, Yayasan Qolbun Salim, Dosen IIP Kemendagri, anggota KIPMI (Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia)

Ilmu Pengetahuan Dalam Pandangan Islam

    Dalam rangka pembahasan jihad (dengan) ilmu pengetahuan, pada paragraf ini agar segera sampai pada inti utama kajian, penulis langsung berpijak dan berangkat dari perspektif epistemologi Islam dalam memandang ilmu pengetahuan. Tentunya hal ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan diskusi secara mendasar mengenai perbedaan konsep ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dan Islam.

        Ditinjau dari pola untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka manusia bisa mendapatkannya baik dari berfikir secara rasional maupun penyelidikan secara empiris. Dalam Islam, disamping kedua pola tersebut, ilmu pengetahuan didapat dari wahyu, melalui penerimaan informasi dari al Qur’an dan hadist nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak ada alasan bahwa ilmu yang dipandang ilmiah adalah hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris, sementara yang lain yaitu ilmu agama tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu yang ilmiah. Islam mengakui ilmu pengetahuan yang mencakup perkara-perkara yang ghaib (tidak tampak oleh akal dan indera manusia) maupun yang syahadah (tampak). 

        Pendekatan yang ditempuh dalam proses perolehan ilmu pengetahuan baik dengan kaidah deduksi yang diturunkan dan diambil dari al Qur’an dan as Sunnah serta akal yang sehat, tetapi juga melalui pengamatan, pengalaman dan penyelidikan secara induksi. Sejak awal, umat Islam telah mengakui dua jenis ilmu pengetahuan sekaligus yaitu ilmu agama dan ilmu umum (tercakup di dalamnya ilmu alam, ilmu social dan ilmu humaniora). Islam mengajarkan kepada manusia mengenai ayat-ayat qauliyyah yang bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah maupun ayat-ayat kauniyyah yang terjadi dan berlangsung di alam semesta.. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu, yang satu diakui yang lainnya tidak, yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis ilmu (pengetahuan), apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational) diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.1 

        Menurut al Ghozali, dikaitkan dengan tujuan (kegunaan) dari suatu ilmu (pengetahuan), maka terbagi menjadi  ilmu syari’ah dan bukan ilmu syari’ah. Ilmu syari’ah yang dimaksudkan disini ialah pengetahuan yang diperoleh dari para nabi sholawatullah ‘alaihim wa salamuhu dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya seperti ilmu berhitung dan percobaan semisal ilmu kedokteran, atau ilmu pendengaran seperti bahasa. Maka ilmu-ilmu yang bukan syari’ah, terbagi kepada : ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, dan itu terbagi menjadi fardlu kifayah dan ilmu utama yang tidak fardlu. Tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi tergolong fardlu kifayah, seperti ilmu kedokteran karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia dan ilmu berhitung karena kegunaannya yang penting bagi masyarakat ketika jual beli, pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah contoh ilmu-ilmu yang jikalau suatu negeri tidak terdapat orang-orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan gugurlah yang lain dari kewajiban tersebut.2

        Ibn Taimiyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama, hanya berbeda penamaannya, ‘uluum as syar’iyyah dan ‘uluum al ‘aqliyyah. Syar’iyyah kadang-kadang dimaksudkan untuk perkara-perkara yang as Syaari’ (Allah) perintahkan, kadang dimaksudkan untuk perihal apa yang as Syaari’ beritakan, dan terkadang dimaksudkan untuk apa-apa yang disyariatkan untuk diketahui dan perkara yang as Syaari’ mengajarkannya. Adapun al ‘aqliyyah adalah hal-hal yang as Syaari’ tidak memerintahkannya dan tidak mensyaratkannya, seperti keterampilan industri dan pertanian semisal petani, developer, penenun dan sebagainya.3 

        Pandangan syekh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin mengenai ilmu selain dien (agama):4

        “Jadi, maka ilmu syar’i adalah ilmu yang terdapat pengagungan padanya, memperoleh pujian bagi pelakunya, akan tetapi saya bersamaan dengan hal itu tidak mengingkari adanya faidah bagi ilmu-ilmu lainnya (selain ilmu dien). Namun ilmu-ilmu tersebut bermanfaat dalam batas-batas: ilmu itu membantu untuk menaati Allah, guna menolong dien Allah, para hamba Allah dapat mengambil kemanfaatan dengannya, maka jadilah yang demikian itu kebaikan dan maslahah, dan kadang-kadang mempelajari ilmu-ilmu itu adalah wajib pada sebagian situasi jika hal itu masuk di dalam firman Allah surah al Anfaal ayat 60 yang berbunyi: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya”. Dan sungguh banyak para ahli ilmu telah menyebutkan bahwa mempelajari tekologi atau rekayasa industri adalah fardlu kifayah, yang yang demikian itu karena sesungguhnya manusia tidak bisa tidak membutuhkan peralatan dapur yang mereka memasak dengan menggunakannya, meminum dengannya dan yang selainnya dari berbagai hal yang memberikan kemanfaatan dengannya, maka jika tidak ditemukan seseorang yang menegakkan aktivitas-aktivitas ini, jadilah mempelajari ilmu-ilmu tersebut sebagai fardlu ‘ain. Dan ini menjadi bahan diskusi diantara para ahli ilmu”.

        Disamping pembagian ilmu, para ulama juga telah menetapkan tingkatan-tingkatan  ilmu pengetahuan berdasarkan urutan yang mana merupakan pokok (ushul) dan cabang (furu’), dan juga dilandasi pemberlakuan hukum ilmu dari sisi fardlu ‘ain dan fardlu kifayahnya.  Sabda rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam:5

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

        “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”

Berkata Ibnu Abdil Barr: Sungguh telah bersepakat (ijma’) para ulama bahwa terdapat ilmu yang fardlu ‘ain atas setiap orang terkait dirinya sendiri dan ada yang fardlu kifayah, jikalau telah berdiri seseorang yang menegakkannya, maka gugur kewajibannya bagi anggota dari masyarakat setempat. Yang lazim kewajibannya dari perkara-perkara yang mana tidak boleh seorang muslim pun bodoh mengenai hal itu adalah meliputi kewajiban-kewajiban yang difardlukan, seperti bersyahadat tauhid dengan lisan dan penetapan dengan hati bahwa Allah adalah esa tidak ada sekutu bagi-Nya, pencipta segala sesuatu, yang menghidupkan dan mematikan, mengenali dan memahami sifat-sifat Allah dan nama-Nya dan sebagainya. Bersyahadat bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, penutup para nabi dan rasul, mengimani hari akhir dan semacamnya. Al Qur’an adalah kalam Allah. Sholat sehari semalam, dengan sekalian hukum-hukum terkait, shaum romadhan, haji, zakat, hingga hal-hal yang tidak ada alasan karena kebodohan mengenai perkara tersebut, seperti haramnya riba, zina, minum khamr, menyuap, saksi palsu dan sejenisnya. Membunuh jiwa tanpa alasan syariat, haram menikahi mahram, dan semacamnya. Semuanya telah dinyatakan dalam al Qur’an dan sudah bersepakat seluruh umat tentangnya. Kemudian tentang seluruh ilmu, keutamaan mempelajari dan mengajarkannya adalah fardlu kifayah.6

Jihad Ilmu Pengetahuan

        Setelah kita mengetahui kedudukan dan hukum jihad dengan berbagai tingkatannya, maka apabila kita runut keseluruhan penjelasan sejak awal tulisan, setidaknya telah memberikan landasan normatif bagi penulis untuk menyatakan urgensitas jihad ilmu pengetahuan di abad ini.  Telah diketahui bahwa tingkatan pertama dari konsep jihad adalah mujahadah an nafs (jihad melawan hawa nafsu). Wujud jihad yang harus dilakukan oleh setiap muslim pada tahapan ini adalah mempelajari ilmu pengetahuan agamanya (al ‘ilmu asy syar’i). Arti penting menuntut ilmu dien disini, dalam artian bukan semata-mata untuk memperoleh keutamaan mempelajari ilmu, kemuliaan kedudukan sebagai penuntut ilmu, mendapatkan surga Allah dan sebagainya. Lebih dari itu semua, dengan seseorang memiliki ilmu dien yang benar maka ia dapat memenuhi hak Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang merupakan kewajiban terbesar seorang hamba yang harus ia tunaikan. 

        Hak Allah itu adalah agar Dia diesakan dalam pengibadahan kepada-Nya dan tidak dipersekutukan dengan sesuatu apapun sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ditanya rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengenai apa hak Allah atas seorang hamba. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya tatkala Mu’adz belum mengetahui hal tersebut.7 Mentauhidkan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya merupakan landasan fundamental yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di tengah-tengah masyarakat (yang mengklaim) sebagai modern (modern society) dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diraihnya serta terpapar dengan jutaan informasi, namun realitas cara berfikir, sikap dan perilaku serta praktik-praktik mereka justru bertolak belakang dan bahkan nyata-nyata bertentangan prinsip-prinsip dan nilai-nilai ketauhidan masih sangat massif terjadi. Tentunya berbeda dengan orang-orang beriman yang menerima dan mengimani Allah dengan logika yang sehat dan ketundukan pada wahyu. Allah telah menantang logika berfikir dan sistem keyakinan orang-orang yang tidak mengesakan-Nya dalam surat al Anbiya ayat 22:

لَوۡ كَانَ فِيۡهِمَاۤ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَـفَسَدَتَا‌ۚ فَسُبۡحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الۡعَرۡشِ عَمَّا يَصِفُوۡنَ (۲۲)

        “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”

        Firman Allah yang lain di dalam surah al Hajj ayat 73:

يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسۡتَمِعُوۡا لَهٗ ؕ اِنَّ الَّذِيۡنَ تَدۡعُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ لَنۡ يَّخۡلُقُوۡا ذُبَابًا وَّلَوِ اجۡتَمَعُوۡا لَهٗ‌ ؕ وَاِنۡ يَّسۡلُبۡهُمُ الذُّبَابُ شَيۡــًٔـا لَّا يَسۡتَـنۡـقِذُوۡهُ مِنۡهُ‌ ؕ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالۡمَطۡلُوۡبُ‏  (۷۳)

        “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.

        Tugas seorang muslim adalah mempelajari pokok-pokok dien yang dengannya ia mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dalam ibadah serta melaksanakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan-Nya dan dituntunkan oleh rasululullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai fardlu ‘ain. Seiring dengan itu ia bisa menuntut ilmu pengetahuan yang ingin ditekuni dan didalaminya secara profesional. Yang mana ilmu pengetahuan itu secara skala prioritas dibutuhkan dan diharapkan bermanfaat bagi kaum muslimin. Seandainya ilmu tersebut tidak ada seorang pun yang mempelajari dan menguasainya maka situasi dan kondisi kaum muslimin senantiasa diposisikan sebagai masyarakat dan negara yang (selalu) masih sedang berkembang dan bahkan terbelakang. Karenanya mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan tersebut adalah sesuatu yang utama dan bisa menjadi fardlu kifayah. 

        Sosok muslim yang cendekia sekaligus memiliki kecerdasan dan kemampuan adalah sangat bisa untuk mempelajari dan menguasai dua jenis ilmu pengetahuan, baik ilmu dien maupun ilmu umum sebagaimana pernah ditempuh oleh para ulama terdahulu. Ilmu dien yang  pokok (ushul) meliputi kitab Allah dan sunnah rasul serta ijma umat dan atsar shahabat. Ilmu alat untuk mengetahui isi kitab Allah dan sunnah rasululullah adalah al mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Keduanya meski tidaklah termasuk dalam ilmu syari’ah, tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari’ah  ini datangnya dengan bahasa Arab.8 Sedangkan untuk ilmu umum, bidang yang dipilih dan dipelajari dapat disesuaikan dengan minat masing-masing orang dan atau tuntutan hajat umat. 

        Untuk menghasilkan figur-figur muslim cendekia yang memiliki kompetensi ilmu dien tidak harus melalui pendidikan formal, karena hal tersebut bisa dilakukan oleh pendidikan non formal maupun pendidikan informal. Pendidikan non formal seperti pesantren (ma’had), madrasah diniyyah, forum, kursus-kursus maupun pusat-pusat belajar bahasa Arab dan Islam. Pendidikan informal bisa berlangsung di tiap-tiap rumah ataupun keluarga kaum muslimin yang menyelenggarakan kajian rutin dan terstruktur dengan kurikulum informal melalui proses belajar dan mengajar. Para ulama klasik telah membiasakan mengajarkan ilmu-ilmu dien, baik yang pokok, cabang maupun ilmu-ilmu alat kepada anak-anaknya di rumah. Adakalanya juga dengan mendatangkan ulama untuk mengajari mereka ataupun mengirim mereka untuk duduk menuntut ilmu (mulazamah) pada seorang ‘alim maupun beberapa orang ulama. Kebiasaan para ulama salaf bahkan melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk mendapatkan ilmu (ar rihlah al ‘ilmiyyah li tholab ilmi syar’i). Sehingga tidaklah seorang ‘alim yang pernah belajar melainkan dia memiliki banyak guru sebagai pengajarnya.

        Kemunculan tradisi keilmuan di tengah-tengah kaum muslimin dapat ditelusuri sejak pertama kali turunnya wahyu hingga lahirnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum seiring dengan tumbuh berkembangnya ilmu-ilmu dien (‘uluum ad dien). Hamid Zarkasyi menjelaskan tahapan-tahapan kelahiran ilmu secara periodik berdasarkan  skema Alparslan Acikgenc, ke dalam empat periode. Secara ringkas dapat disebutkan disini. Periode pertama,  turunnya wahyu pada periode Mekkah merupakan pembentukan struktur konsep tentang dunia (world structure) yang baru. Seperti konsep-konsep tentang keimanan kepada Allah, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, hari pembalasan, konsep ilmu, kenabian, ibadah dan sebagainya. Sementara turunnya wahyu pada periode Madinah merupakan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Hal ini diindikasikan dengan tema-tema umum  yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun islam dan sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Periode kedua, periode ini adalah momen lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun mengandung struktur ilmu pengetahuan. Seperti struktur konsep tentang kehidupan, struktur konsep tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang semuanya itu sangat peotensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual yang terdapat dalam ilm, iiman, fiqh, tafsir, khalq dan semamcamnya. Konsep-konsep ini telah dianggap memadai sebagai kerangka awal konsep keilmuan, yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar.9

        Periode ketiga, adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuwan. Diantaranya adalah berdirinya ashhabus as shuffah di Madinah. Di forum ini, kandungan wahyu dari al Qur’an dan pengajaran langsung dari nabi Muhammad shollallahu wa sallam berjalan secara efektif. Majelis ilmu ini menghasilkan para shahabat yang meriwayatkan dan menyampaikan sunnah nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dari masa generasi shahabat hingga tabi’in dan atba’ tabi’in hingga berkembang masa para ulama madzahab.10 Periode keempat adalah lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. Hamid mengutip Alparslan, mengemukakan bahwa kelahiran disiplin ilmu-ilmu Islam tersebut melalui tiga tahap, yaitu (1) Tahap problematik, yaitu tahap di mana berbagai permasalahan subyek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang kajian-kajian tertentu, (2) Tahap disipliner yaitu tahap di mana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai bidang ilmu masing-masing, dan (3) Tahap penamaan (naming stage), yang mana pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.11

        Mengikuti uraian Ahmad Fuad Basya, kebangkitan ilmiah di era peradaban Islam  dimulai dari dorongan al Qur’an yang senantiasa memotivasi untuk mengamati dan memperhatikan dengan seksama tentang kerajaan-kerajaan langit dan bumi dan juga dalam hadits-hadits rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang menyerukan umat Islam untuk selalu menuntut ilmu. Ajaran Islam yang mengagungkan ilmu pengetahuan, memuliakan para ulama, menegaskan pembebasan manusia dan pemikirannya dari berbagai belenggu, menggali potensi dan talenta-talenta yang dimiliki, menggunakan pikiran dan pengetahuannya itu untuk mempelajari berbagai fenomena alam dan mengungkap rahasia-rahasia, serta hukum-hukumnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam juga memotivasi para shahabat radhiyallahu ‘anhum untuk mempelajari berbagai bahasa sebelum mengirimkan para delegasinya kepada para penguasa di luar semenanjung Arab. Penggunaan bahasa Arab yang meluas dari negeri-negeri yang ditaklukkan bangsa Arab meninggalkan bekas bagi penduduk asli untuk kemudian menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi juga untuk membuka kunci-kunci rahasia warisan ilmu pengetahuan yang ditinggalkan.12

        Tahap berikutnya, adalah gerakan ilmiah pada masa-masa keemasan umat Islam pada Dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah berupa penerjemahan karya-karya dan mentransformasi ilmu pengetahuan bangsa-bangsa terdahulu. Metode ini juga ditempuh semua bangsa di dunia yang senantiasa mengumpulkan sejarah ilmu pengetahuan, meneliti dan menyeleksi warisan budaya mereka. Dalam perkembangannya, gerakan ilmiah pun berubah dari yang sifatnya penerjemahan dan pemahaman atau pendalaman terhadap ilmu pengetahuan klasik menjadi penulisan ilmiah, inovasi, melakukan penelitian dan uji coba, menganalisa hasil-hasil dan hukum-hukum berdasarkan metode eksperimen ilmiah. Para ilmuwan Barat pada abad pertengahan tidak memiliki karya yang dapat disandingkan atau diperbandingkan dengan hasil-hasil ilmu pengetahuan ilmuwan yang hidup sezaman dengan mereka pada periode kebangkitan Islam. Lebih jauh adalah munculnya gerakan ilmiah dengan terbentuknya komunitas-komunitas ilmiah dan para  ilmuwan dengan dukungan khalifah pada masa itu. Memperkuat gerakan tersebut adalah dengan pembangunan perpustakaan-perpustakaan dan pusat-pusat kajian ilmu pengetahuan dengan pendanaan dari para pemimpin maupun hartawan yang membelanjakan harta benda mereka dengan senang hati karena kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan ataupun menghiasi forum-forum mereka dengan para ilmuwan.13


1 Nasruddin Syarif,”Konsep Ilmu Dalam Islam”, di dalam Adian Husaini, et.al,”Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam”, Cetakan Pertama, 2013, Penerbit Gema Insani, Jakarta, hal.66
2 Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozali,”Ihya ‘Uluumid Diin:, Takhrij Hadits: ‘Allamah Zainuddin Abi al Fadhl al ‘Iraqi, Dar Ibn Hazm li thoba’ah wa an Nasyr wa at Tauzi’, Tahun 2005, hal.24; lihat Muhyidin Abi Zakariya an Nawawi,”Aadab al ‘Alim wa al Muta’alim”, Maktabah as Shahabat, Thanta, Mesir, Tahun 1987 ; hal.23-28
3 Syaikh Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah al Harrany,”Majmu al Fatawa”, Juz 13, Dar al Wafa li Thoba’ah, Tahun 1997, hal.76, Jilid 19, hal. 123-126, baca juga di dalam Nasruddin Syarif, Op.Cit., hal.66-67
4 Syekh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin, “Kitab al Ilmi”, Dar al Ghad al Jadid, Mesir, Tahun 2009, hal.9-10
5 Imam Yusuf  bin Abdil Barr, “Jaami’ Bayan al ‘ilmi wa Fadlihi”, Dar Ibnu al Jauzi li an Nasyr wa at Tauzi’, Riyadh, Saudi Arabia, Cetakan Pertama, Tahun 1994,  Hal.23-55
6  Ibid., hal.56-59
7 Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad; baca Kitab Tauhid yang  ditulis oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhad at Tamimiy al Hambaly yang mengawali pembahasan kitabnya dengan hadits tersebut
8 Imam al Ghozali, Op.Cit., hal.24-25
9  Syamsuddin Arif dan Dinar Dewi Kania, “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, di dalam Adian Husaini, Op.Cit., hal.23-26
10 Bandingkan periodisasi tradisi keilmuan Islam ini dengan sejarah perkembangan pembentukan hukum syariah dalam tulisan Syekh Khudori Bek, “Taarikh at Tasyri’ al Islamiy”, Dar al Fikr, Beirut, Libanon, Tahun 1995
11  Ibid
12  Lihat, Ahmad Fuad Basya,”Sumbangan Keilmuan Islam Pada Dunia”, terjemahan Masturi Irham dan Muhammad Aniq, Pustaka al Kautsar, Jakarta, Cetakan Pertama, 2015, hal. 70-82
13  Ibid.,

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *