Jihad Abad 21: Jihad Ilmu Pengetahuan (Bagian 3 dari 3 Bagian)

Oleh: Dr. Tjahjo Suprajogo, MSi*

*  Ditulis tanggal 12-16 Januari 2019/5-10 Jumadilawal 1440 H untuk disajikan dalam Diskusi Bulanan Sesi ke-1 “Studi Islam dan Ilmu  Pengetahuan” yang diselenggarakan Center for Islamic Studies and Sciences (CISS)/Pusat Studi Islam dan Ilmu Pengetahuan (PSI2P) di Aula PSI2P, Malang 20 Januari 2019 dan Ruang VIP IPDN Jakarta 10 Februari 2019, Yayasan Qolbun Salim, Dosen IIP Kemendagri, anggota KIPMI (Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia)

Menuntut ilmu pengetahuan adalah dengan cara mempelajarinya. Mempelajari sesuatu adalah dengan membaca dan menuliskannya. Tradisi keilmuan di dalam Islam dan masyarakat Islam pada dasarnya berbasis pada aktivitas membaca dan menulis. Sebagaimana sudah maklum diketahui, Allah menurunkan surah Al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai landasan literasi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5).”

Pengetahuan dan keterampilan literasi sangat diperlukan oleh setiap muslim tanpa terkecuali karena merupakan kecerdasan dasar yang secara potensial telah ada di dalam diri setiap orang. Upaya yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengekspresikan dan mengembangkan kecerdasan dasar yang sudah melekat pada diri kita tersebut. Sebagai seorang intelektual, kita tentunya harus terus meningkatkan keterampilan membaca, baik dalam kecepatan membaca sumber-sumber informasi yang sedemikian banyaknya, membaca secara mendalam (istiqra’), belajar dengan cara muraja’ah (mengulang bacaan dan mengonfirmasi ulang informasi yang telah diterima), memahami makna yang terkandung di dalam bacaan, bisa mendeskripsikan isi dari bahan bacaan, dan seterusnya.

Untuk kian memperkuat hasil yang telah diperoleh dari proses membaca, salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menuliskannya. Menuliskan ilmu pengetahuan berfungsi menguatkan memori jangka panjang, menambah pemahaman, sekaligus mendokumentasikan gagasan-gagasan yang telah dimiliki agar tidak lenyap begitu saja. Diriwayatkan dari Anas bin Malik  [1], bahwa Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita agar selalu menuliskan apapun yang sudah kita baca dan pelajari dengan sabdanya:

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِة

Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya.

 Diriwayatkan dari Abu Hurairah [2], ia berkata bahwa tatkala fathu Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri menyampaikan khutbah. Kemudian, berdirilah seorang lelaki dari Yaman (disebutkan bahwa namanya Abu Syah). Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Bersabda Rasulullah, “Tuliskanlah oleh kalian untuk Abu Syah.”

Ucapan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, tabi’in, atba’tabiin, hingga seluruh ulama dari kurun ke kurun untuk menuliskan gagasan-gagasan ilmu pengetahuan dan hasil ijtihad mereka di berbagai bidang, baik ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, sejarah, biografi, dan sebagainya dalam berjilid-jilid karya tulis berupa kitab-kitab berbahasa Arab. Bahkan sebagian besar dari tulisan mereka ada yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Para ulama yang ahli di bidang ilmu pengetahuan dien (agama Islam) yang memiliki kompetensi di bidang ilmu-ilmu alam, entah matematika, fisika, kimia, astronomi, kedokteran, geologi, geografi, topografi, meteorologi, mekanika, dan lain sebagainya, juga sudah mewariskan hasil-hasil pemikiran, penelitian, dan penemuan mereka secara teoretis maupun teknologi [3]. Tentunya kesungguhan dan kerja keras mereka dalam literasi dan teknologi harus kita teladani, ikuti, dan teruskan sampai sekarang karena tahapan kedua dari mujahadah an-nafs adalah mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah kita pelajari dan kuasai ke dalam karya nyata berupa hasil-hasil penelitian dan produk ilmu pengetahuan.

 Abad ke-7 hingga ke-15 adalah suatu periode yang disebut era sejarah keemasan. Ilmuwan muslim telah mengantarkan era itu dengan prestasi yang benar-benar mengejutkan dengan perkembangan di semua bidang, termasuk kedokteran modern, kimia, dan aljabar. Kontribusi besar dalam kemajuan pengetahuan ini bahkan dirintis oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional (seperti madrasah, maktab, halaqah dan darul uluum). Disebutkan dalam Encyclopedia Britannica, “Para madrasah umumnya menawarkan pengajaran dalam kedua ilmu, baik ilmu agama dan cabang pengetahuan lainnya. Kontribusi lembaga-lembaga ini untuk kemajuan ilmu sangat luas.”

Untuk era saat ini, 57 negara di dunia Muslim, orang-orang dengan populasi mayoritas Muslim, dan bagian dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI), merupakan rumah bagi hampir 25% warga dunia. Namun, pada 2012, mereka hanya menyumbang 1,6% dari paten dunia, 6% dari publikasi akademisnya, dan 2,4% dari pengeluaran penelitian global [4]. Hanya ada tiga penerima penghargaan Nobel dari negara-negara OKI. Berdasarkan data pada tahun 2015, negara-negara ini menampung kurang dari selusin universitas yang berada pada 400 top peringkat dunia dan tidak ada satupun pada peringkat 100 topnya [5]. Infografiknya dapat dilihat di bawah.  

Tahapan ketiga dari mujahadah an-nafs adalah mendakwahkan ilmu pengetahuan yang sudah kita miliki. Serupa dengan jihad dalam artian perang, dakwah ilmu pengetahuan memerlukan adanya persiapan, perbekalan, dan perlengkapan yang memadai sesuai dengan kepentingannya. Merujuk pada firman Allah dalam Surah Al-Anfaal: 60, Allah memotivasi kita dalam peningkatan ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi dengan segala format rekayasa dan inovasinya yang relevan di era ini:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ  وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ 

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya.”

Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan di ayat ini untuk mempersiapkan peralatan perang untuk memerangi mereka sesuai dengan kemampuan, potensi, fasilitas dan kesanggupan [6].  Disebutkan tatkala telah tercapai kesepakatan para sahabat Nabi di dalam peristiwa Badar yang bermaksud menghadapi orang-orang kafir dengan tanpa peralatan dan persiapan, Allah memerintahkan mereka agar tidak mengulangi lagi seperti itu dan supaya memiliki persiapan menghadapi mereka dengan segala hal yang dimungkinkan baik berupa alat-alat, persiapan dan kekuatan.

Dimaksudkan dengan قُوَّة di sini adalah apa saja yang menjadi sebab untuk mendapatkan kekuatan. Kekuatan bisa berupa beraneka ragam persenjataan. Menurut hadits Nabi, “Kekuatan itu berupa memanah. Berwujud benteng pertahanan. Mencakup apapun rupanya yang dapat memperkuat untuk pertempuran.” Segala alat perang dan jihad dari keseluruhan kekuatan. Ayat ini menujukkan bahwa persiapan untuk berjihad dengan pasukan, persenjataan, pelatihan berkuda dan memanah adalah wajib (fardlu) meski sebagai fardlu kifayah [7].

Lafaz ayat ini menunjukkan secara umum karena sesungguhnya diperintahkan sesuai dengan kemampuan yang dihadapi umat di setiap zaman dan tempat. Maka, wajib bagi kaum muslimin di masa sekarang dengan nash Al-Qur’an membuat alat pertahanan dengan aneka macamnya dan senjata, tank, pesawat terbang, dan pengadaan kapal perang dengan aneka ragamnya, di antaranya kapal selam. Wajib bagi kaum muslimin mempelajari teknik dan industri-industri yang sesuai untuk pembuatan peralatan-peralatan tersebut dengan kaidah: “Perkara yang tidak sempurna suatu kewajiban yang mutlak kecuali dengan hal itu maka hukumnya adalah wajib.”

Semua industri yang menopang putaran kehidupan termasuk dari fardlu kifayah, seperti industri-industri alat tempur [8]. Ini berarti merupakan tanggung jawab bagi ilmuwan untuk mengemban amanah guna meningkatkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung tercapainya tujuan bagi kemaslahatan umat meski hal itu tidak menjadi kewajiban orang per orang, tetapi bagi semua.

Berdakwah sebagai tugas ketiga, berupa menyeru dan mengajak manusia kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya dalam Surah An-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
 وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

Allah memerintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak manusia dengan hikmah. Ibnu Jarir berkata  [9], “Yaitu apa-apa yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya dari Al-Qur’an dan as Sunnah serta almau’izhah alhasanah (pelajaran yang baik), yang di dalamnya terdapat peringatan, teguran, dan kejadian-kejadian yang telah dialami manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (diminta untuk) mengingatkan mereka akan hal itu supaya mereka waspada dengan siksaan Allah.” Dengan hikmah bermakna dengan wahyu Allah yang Dia wahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kitab-Nya yang diturunkan atas beliau. Al-mau’izhah alhasanah adalah pelajaran-pelajaran yang indah yang Allah telah menjadikannya sebagai hujjah (argumentasi) atas mereka di dalam kitab-Nya, dan Allah mengingatkan mereka dengan pelajaran-pelajaran yang Ia turunkan seperti yang terkumpul dari  hujjah-hujjah-Nya di dalam surah ini serta memperingatkan mereka tentangnya apa-apa yang Ia ingatkan mereka dari nikmat-nikmat-Nya [10]. Firman-Nya (وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ), “Dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik,”  maksudnya adalah jika di antara mereka ada yang mengajak diskusi dan berdebat, hendaklah bantah mereka dengan wajah yang berseri, lemah lembut dan bahasa yang sopan [11], seperti firman Allah dalam Surah Al ‘Ankabut ayat 46. 

Kita menyeru dan mengajak umat manusia kepada Allah dengan hikmah, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah  itu sendiri tidak semata-mata berisi tentang masalah-masalah keimanan, ketauhidan, ibadah ritual, akhlak, penawar hati yang sakit dan sedih, kedahsyatan hari kiamat, hadiah kenikmatan surgawi dan ancaman kesengsaraan neraka, tetapi juga persoalan-persoalan keduniaan secara global ataupun umum. Selain itu, terdapat pula berbagai fenomena alam yang diungkapkan sebagai argumentasi yang kuat mengenai petunjuk Allah bagi manusia. Bagi para ilmuwan khususnya, bisa berdakwah dengan menunjukkan dan membuktikan tanda-tanda kemukjizatan ilmiah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan melakukan pengamatan, penelitian, dan eksperimen tentang ayat-ayat Allah di alam semesta dan seisinya ini. Setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini tidaklah pernah ada yang merupakan suatu kebetulan, tetapi sebagai sunnatullah yang berlaku bagi apapun, di manapun, kapanpun, serta siapapun. Semua yang tampak di bumi dan bahkan di dalam diri kita sendiri merupakan bukti-bukti kebesaran Allah agar semakin yakin. Dia menyatakan dalam firman-Nya pada Surah Adz-Dzaariyaat:

وَفِى الۡاَرۡضِ اٰيٰتٌ لِّلۡمُوۡقِنِيۡنَۙ‏ ﴿۲۰﴾ وَفِىۡۤ اَنۡفُسِكُمۡ‌ؕ اَفَلَا تُبۡصِرُوۡنَ‏ ﴿۱۲﴾

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin (20) dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (21)”

Apatah lagi menghadapi orang-orang yang tidak mau beriman kepada Allah, kaum atheis yang ingkar terhadap eksistensi Sang Pencipta, kelompok agnostik yang meyakini bahwa tidak mungkin ilmu pengetahuan manusia itu bisa mengenal tuhan, aliran sofisme yang menolak kebenaran agama, gerakan rasionalisme yang mengagungkan-agungkan kehebatan akal manusia, dan berbagai pelopor, pegiat, penganut dan pendukung keyakinan dan aliran-aliran semacamnya, Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hujjah (argumentasi) yang mampu melemahkan pandangan, pemikiran dan bahkan keyakinan mereka. Allah telah mengingatkan dengan firman-Nya dalam Surah Al-Furqaan ayat 51-52 [12], At-Taubah ayat 73, dan banyak lagi surah dan ayat, hadits yang lainnya yang menyatakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai hujjah Allah.

Bagi para ilmuwan, jihadnya adalah melalui kemukjizatan ilmiah, khususnya tentang  alam semesta dan seisinya [13], yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berupa firman Allah dan sabda-sabda nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai al aayaat al qauliyyah dan juga yang nyata secara obyektif melekat pada alam semesta dan seisinya itu sendiri berupa al aayaat al kauniyyah untuk menghadapi mereka.

Di antara para ulama (ataupun) ilmuwan yang pernah merintis penulisan  kemukjizatan ilmiah dari alam semesta di dalam mukadimah kitab mereka adalah: al Jahizh (wafat 225 H) di kitabnya al Hayawaan; Ibnu Hazm al Andalusy (wafat 405 H) di al Mufashshal; al Ghazali (wafat 505 H) di Ihya ‘Ulumiddin dan Jauhar al Qur’an; Fakhru ar Razi (wafat 606 H) di dalam tafsirnya Mafaatihu al Ghoib; dan Thantawi Jauhari (wafat 1359 H) dengan tafsirnya al Jawaahir fi Tafsiir al Qur’an al Kariim. Ada pula cendekiawan masa kini semisal Muhammad bin Ahmad al Iskandary at Thabib, Abdullah Fikry, Abdul al Aziz Sayyid al Ahl, Ahmad Mukhtar al Ghazi, Hanafi Ahmad, Muhammad Ahmad al Ghomarawiy, Muhammad Mahmud Ibrahim, Abdur Rozaq Naufal, dan sebagainya [14].

Kesempatan untuk berperan dan berkontribusi di dunia ilmu pengetahuan semakin terbuka di tengah-tengah kegalauan adanya sebagian ilmuwan Barat yang berpandangan ilmu pengetahuan akan berakhir (The End of Science?) [15]. Artinya, para ilmuwan muslim bisa mengisi kekosongan tersebut. Di sisi lain, masih terjadi hegemoni ilmu pengetahuan Barat hingga detik ini terhadap umat Islam dan masyarakat dunia seluruhnya. Tentu harus ada kesadaran dan keberanian untuk mendobrak belenggu tersebut berupa gebrakan untuk menampilkan sesuatu yang baru, baik berupa konsep, teori, dan model di bidang ilmu pengetahuan entah di ilmu-ilmu alam, sosial maupun humaniora.

Rendah diri yang menyelimuti cara berpikir, sikap, dan perilaku para ilmuwan di negara-negara sedang berkembang apalagi di negara-negara terbelakang (dalam pandangan dan parameter bangsa Barat) melahirkan ketakutan yang akut untuk tampil berbeda dengan apapun yang datang dari Barat terutama di bidang ilmu pengetahuan. Indikasi yang paling menonjol di era ini adalah ketergantungan para akademisi dan peneliti dengan sitasi, template tulisan artikel ilmiah yang seolah sudah di-paten-kan oleh lembaga-lembaga internasional yang sedang mendominasi lahan penulisan ilmu pengathuan dunia, gaya selingkung yang serba telah diatur, dan sebagainya. Momok yang menyeramkan tersebut kemudian mulai dirasakan secara perlahan-lahan ‘mematikan’ kreativitas, inovasi, dan orisinalitas yang sebenarnya masih dimiliki para intelektual muslim. Semua ini justru harus menjadi tantangan dan peluang bagi cendekiawan muslim, apalagi sejarah panjang peradaban Barat yang diwariskan kepada dunia berupa sekulerisasi ilmu pengetahuan menuntut kita untuk mengembalikan ilmu pengetahuan ke pangkuan umat Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai payungnya.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera direspons dan dijawab serta diselesaikan oleh umat Islam, terutama para intelektualnya. Karenanya, lahirnya komunitas ilmuwan muslim sebagaimana masa para pendahulu di era keemasan kaum muslimin merupakan salah satu upaya yang harus dihidupkan kembali. Keinginan dan kemauan untuk terus-menerus tanpa henti melakukan penelitian, penulisan, publikasi ilmiah, dan produksi ilmu pengetahuan berupa teknologi yang bermanfaat untuk umat manusia harus menjadi obsesi sekelompok orang di antara umat Islam.

Demikianlah rangkaian tulisan ini. Atas pertolongan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata, tulisan ini dapat diselesaikan.

Referensi dan Catatan Kaki:

[1] Kitab Nawaadir al Ushul: 39, Ibnu Abdil Barr, Op.Cit. Hadits No. 395-396, 398, hal. 306-310; Syekh Ahmad bin Umar al Mahmashaani al Bairutiy,”Mukhtashar Jaami Bayan al ‘Ilmi wa Fadlihi”, Dar al Khoir, Beirut, Cet. ke-1, 1994, hal. 69.
[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bukhari, Tirmidzi, Ahmad; Ibid., Hadits No.386, hal. 298
[3] Baca, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, “Sumbangan Peradaban Islam Pada dunia”, terjemahan Sonif, Masturi Irham dan Malik Supar, Pustaka al Kautsar, Jakarta, Cetakan Pertama, Tahun 2011, hal. 268-349, Salim T. S. Al-Hassani (ed.), “1001 Inventions: the Enduring Legacy of Muslim civilization”, Third Edition, National Geographic, Washington DC, USA.
[4] Royal Society. A New Golden Age? The Prospects for Science and Innovation in the Islamic World (Royal Society, 2010); Royal Society. The Atlas of Islamic World Science and Innovation (Royal Society, 2014).
[5] Nature, Volume 526, 29 October 2015, Macmillan Publishers, hal. 635.
[6] Ibnu Katsir, Op.Cit., hal. 109.
[7] Imam Muhammad Ar-Razi Fakhruddin Ibn Al-‘Allamah Dhiyauddin ‘Umar, “Tafsir al Kabiir wa Mafatihu al Ghoib”, Juz 15, Dar Al-Fikr li Thoba’ah wa An-Nasyr wa Tauzi’, Beirut, Libanon, Cetakan ke-1, Tahun 1981, hal. 191-192.
[8] Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, “Tafsir Al-Manaar”, Juz 10, Dar Al-Manaar, Mesir, 1368 H, hal. 68-72.
[9] Ibnu Katsir, Op.Cit., Juz 8, hal. 367-368.
[10] Ibnu Jarir, Op.Cit., Juz 14, hal. 400-401.
[11] Ibnu Katsir, Ibid.
[12] Baca, Ibnu Jarir, Op.Cit., Juz 17, hal.470; dan tafsir yang lain.
[13] Zahlul Raghib Muhammad an Najjar, “Min Aayaat al I’jaz al ‘Ilmiy: al Ardhu fi al Qur’an al Karim,” Dar al Ma’rifah, Beirut, Libanon, Thab’ah al Uula, Tahun 2005; “Treasures in the Sunnah: A Scientific Approach”, al Falah foundation for Translation, Publication, and Distributuion, Cairo, Mesir, 2004; untuk ilmu sosial semisal, Ismail Raji al Faruqi dan Abdullah Umar Nassef, “Social and Natural Science: The Islamic Perspective”, King Abdul Aziz University, Jeddah, Saudi Arabia, First Printed 1981.
[14] Zahlul Raghib Muhammad an Najjar,”Min Aayaat al I’jaz al ‘Ilmiy: as Samaa’ fi al Qur’an al Karim,” Dar al Ma’rifah, Beirut, Libanon,Thab’ah al Uula, 2005, Hal. 22.
[15] John Horgan,”The End of Science: Facing the Limits of Konowledge in the Twilight of the Sicentific Age”, Addison-Wesley Publishing Company, Inc, New York, USA, 1997, John Horgan, “Senjakala Ilmu Pengetahuan”, terjemahan Djejen Zainuddin, Penerbit Teraju, Cetakan I, Jakarta Selatan, September 2005.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *