Strategi Pendirian Dan Pengembangan Sekolah Ala Startup
Yang pertama kali terfikirkan ketika ingin mendirikan sekolah biasanya adalah pertanyaan darimana modalnya. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa komponen utama sekolah adalah gedung sekolah dan guru, keduanya membutuhkan modal awal dan beban tetap (fixed cost) yang besar. Sehingga biasanya pendiri sekolah akan mencari modal awal yang besar ini terlebih dahulu, baik dari harta pribadi maupun dari pihak ketiga baik dalam bentuk investasi, hutang, atau donasi. Namun ternyata, hal ini tidak menjadi masalah bagi salah satu sekolah Islam swasta di kota pinggir Jakarta yang memulai sekolah tanpa ketersediaan modal awal yang besar maupun dukungan dari investor. Mari kita simak bagaimana strateginya.
1. Penyusunan strategi
Hal pertama yang harus dimiliki adalah gagasan/visi yang jelas, misalkan dalam konteks ini adalah menjadi lembaga rujukan untuk pendidikan berbasis Al-Qur’an. Namun dalam kondisi ketidakpastian adanya sumberdaya, maka penyusunan strategi sebaiknya difokuskan untuk eksekusi jangka pendek sesuai dengan kondisi atau ketersediaan sumberdaya saat itu. Siklus perencanaan yang digunakan lebih pendek, misalkan 6-12 bulan.
Hal ini seperti halnya saat kita bepergian menggunakan GPS. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah menentukan titik tujuan. Misalkan dari kota A ke kota B kita harus melewati jalan 1, jalan 2, dan jalan 3. Fokus kita adalah melewati jalan 1 dulu. Setelah itu, jalan berikutnya yang dilalui menyesuaikan kondisi aktual saat itu. Misalkan seharusnya setelah jalan 1 lanjut ke jalan 2. Namun ternyata jalan 2 macet karena kecelakaan yang tidak terduga sehingga kita belok melewati jalan lain yang tidak direncanakan sebelumnya. Demikian seterusnya sampai kita sampai di kota tujuan yaitu kota B. Berbeda dengan startup atau bahkan perusahaan yang lebih mapan, tingkat ketidakpastiannya lebih rendah sehingga bisa mengikuti jalur sesuai rencana awal. Dalam konteks tadi, startup atau perusahaan yang lebih mapan ini akan mengikuti jalan 1, jalan 2, dan jalan 3 untuk sampai ke kota B sesuai rencana awal.
2. Strategi eksekusi
Pemaparan strategi eksekusi ini disampaikan berdasarkan tahapan pendirian dan pengembangan yang dilalui sekolah tersebut. Tahapan di setiap kasus dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dialami.
Tahap pertama: entry point dan validasi
Mengingat keterbatasan sumberdaya, maka pendekatan value proposition yang paling mungkin dipilih adalah low performance-low price (less for less). Namun low performance disini tidak berarti harus mengorbankan kualitas, namun dapat tetap berkualitas dengan fokus ke satu sampai dua layanan saja yang paling penting atau pokok. Dalam konteks sekolah Islam ini, mereka memulai dari pendidikan Taman Pendidikan Qur’an (TPQ) di masjid dimana layanannya hanya fokus pada belajar membaca Al-Qur’an. TPQ digunakan sebagai entry point karena pada saat itu mereka hanya memiliki kompetensi yang baru memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan Qur’an dasar di masjid. Sehingga tidak memerlukan biaya yang besar dan dapat diterima kaum muslimin secara umum. Selain itu mereka juga memanfaatkan TPQ ini untuk tes pasar atau validasi ke pelanggan dan menyiapkan sumberdaya, terutama sumberdaya manusia.
Tahap kedua: Membangun kapabilitas inti
Setelah melakukan tes pasar atau validasi ke pelanggan, maka mereka memulai pendidikan formal berbasis Qur’an, masih dengan value proposition yang sama yaitu low performance-low price (less for less). Untuk itu, mereka menggunakan sebuah tempat yang dapat digunakan secara gratis dengan imbal balik kepada pemilik berupa renovasi atau perbaikan tempat tersebut dimana hal tersebut tidak membutuhkan biaya yang besar. Di tahap ini mereka _fokus mengembangkan kompetensi dan kurikulum sebagai pondasi utama, dengan cara memanfaatkan jaringan ekosistem sekolah maupun pakar-pakar pendidikan di sekitarnya untuk membantu mereka dalam bentuk sharing, pelatihan, ataupun workshop.
Tahap ketiga: Memenuhi standar kelayakan
Setelah mereka memiliki kompetensi dan sumberdaya manusia yang dianggap cukup, maka tahap berikutnya adalah mulai membangun citra sebagai sekolah formal yang berkualitas. Hal ini dilakukan dengan berpindah ke gedung yang memenuhi standar kelayakan sekolah dengan cara sewa. Dengan cara ini, mereka dianggap sudah pantas untuk mulai memasukkan komponen uang pangkal atau uang gedung untuk para siswa mereka meskipun tidak terlalu besar_.
Tahap keempat: Persiapan “naik kelas” atau disruption
Pada tahap ini, value proposition masih cenderung low performance-low price (less for less) namun sudah direncanakan untuk mulai berubah ke high performance-low price (more for less). Untuk mencapai value proposition yang kedua, maka salah satu syarat utamanya adalah memiliki kendali penuh atas sumberdaya-sumberdaya utama yang digunakan. Oleh karena itu, mereka harus memiliki gedung sendiri yang tidak menyewa dari pihak lain. Namun dengan uang gedung yang relatif murah tentunya kurang mencukupi untuk membeli tanah sekaligus membangun gedung, mengingat harga tanah di kota besar tergolong mahal. Oleh karena itu, mereka menjalin kerjasama bagi hasil dengan jangka waktu yang sangat panjang dengan seorang pemilik tanah. Oleh karena itu, uang pangkal yang jumlahnya tidak terlalu besar dapat digunakan untuk membangun gedung sekolah.
Tahap kelima: Disruption menuju kemapanan
Pada tahap ini, value proposition sudah beralih menjadi high performance-low price (more for less) yang merupakan value proposition paripurna dari sebuah layanan. Peningkatan performa dilakukan dengan cara melebarkan layanan sehingga tidak hanya siswa yang menerima value tersebut, namun juga orangtuanya. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan program rutin pengembangan orangtua dengan memanfaatkan guru dan gedung di saat tidak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar siswa. Kegiatan ini juga memberi nilai tambah kepada sekolah baik secara finansial dan non-finansial. Secara finansial, program ini tidak hanya dibuka untuk orang tua siswa tetapi juga untuk umum namun dengan biaya tertentu. Secara non-finansial, program ini dapat menjadi salah satu program marketing bagi kalangan umum yang belum menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Selain itu, program ini juga meningkatkan kualitas orang tua sehingga orang tua dapat bersinergi dengan sekolah untuk mendidik siswa.
Beberapa poin penting yang dapat ditarik dari implementasi strategi di sekolah tersebut antara lain:
– Harus memiliki gagasan atau visi yang jelas.
– Fokus pada strategi dan eksekusi jangka pendek yang fleksibel terhadap perubahan situasi.
– Di fase awal dapat menggunakan value proposition low performance-low price (less for less) dengan cara fokus hanya pada layanan inti dan manfaatkan seluruh sumberdaya sekecil apapun dari jaringan dalam ekosistem sekitar kita sehingga dapat meminimalisasi biaya yang dibutuhkan dengan tetap memastikan kualitas terhadap layanan inti yang diberikan.
– Di fase tertentu, ubah value proposition secara bertahap menjadi high performance-low price (more for less) dengan cara menambah layanan tambahan yang berharga diluar layanan inti dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Untuk dapat menghasilkan manfaat yang maksimal, maka kita harus memiliki kendali penuh atas sumberdaya tersebut.
– Percaya diri dan memiliki daya tahan yang tinggi untuk mencapai tujuan dalam kondisi serba terbatas dan penuh ketidakpastian.
Berdasarkan strategi tersebut, mendirikan sekolah yang awalnya membutuhkan modal awal yang sangat besar dari segala aspek dapat diminimalisasi dengan memulai dari sesuatu yang sederhana dan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan berjalannya waktu, pengelola atau pendiri sekolah akan mulai belajar dari hal-hal yang mudah hingga rumit secara bertahap. Senada dengan tafsir Rabbani, yakni memulai dari ilmu-ilmu yang dasar sebelum ilmu-ilmu yang rumit.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun yang ingin mulai mendirikan lembaga pendidikan dengan kondisi penuh keterbatasan. Yang benar datangnya dari Allah dan yang salah datangnya dari penulis pribadi.
Catatan:
Tulisan disusun berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus yayasan salah satu sekolah Islam swasta dibantu oleh Ranggadika Abdillah anggota KIPMI Muda alumni Sastra Arab Universitas Padjadjaran (2014-2018)
Tentang penulis:
Andi Hakim Kusuma
S1 Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (2003-2007), S2 Teknik Elektro King Saud University (2007-2010), memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya manusia dan pendidikan, Saat ini menjadi karyawan bidang Strategic Management di Telkom Indonesia dan Advisory Board Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia.
S1 Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (2003-2007), S2 Teknik Elektro King Saud University (2007-2010), memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap pengelolaan sumberdaya manusia dan pendidikan, Saat ini menjadi karyawan bidang Strategic Management di Telkom Indonesia dan Advisory Board Teknik Elektro Universitas Islam Indonesia.