Iman Yang Benar Terhadap Takdir

Beriman kepada takdir adalah salah satu landasan akidah Islam, tidak sah keimanan seseorang jika tidak beriman kepada takdir. Yaitu kita wajib mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi telah Allah takdirkan dan tidak ada yang luput dari takdir Allah. Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At Taghabun: 11)

Allah ta’ala juga berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّـهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al Hadid: 22)

Dalam hadis dari Umar bin Khathab radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Engkau beriman kepada (1) Allah, (2) malaikat-Nya, (3) kitab-kitabNya, (4) para Rasul-Nya, (5) hari akhir, dan beriman kepada (6) takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.” (HR. Muslim no. 8).

Empat tingkatan iman kepada takdir

Para ulama Ahlussunnah menyebutkan bahwa ada empat tingkatan iman kepada takdir. Empat poin harus menjadi bagian dari iman seseorang dalam mengimani takdir. Jika kurang satu saja, maka terdapat penyimpangan dalam imannya terhadap takdir.

1.  Al Ilmu (Pengetahuan Allah)

Yaitu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi telah diketahui oleh Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman:

وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Dan Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Ahzab: 40)/

Allah ta’ala juga berfirman:

 وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ  

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Mahamengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’aam: 59).

2. Al Kitabah (Penulisan Takdir)

Yaitu meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak hanya telah diketahui oleh Allah, bahkan telah dituliskan semuanya di dalam sebuah kitab yang disebut Al Lauhul Mahfuzh. Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّـهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al Hadid: 22).

Dalam hadis dari Abdullah bin ‘Amr bin al Ash radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَالْحَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah menulis takdir seluruh makhluk 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi” (HR. Muslim)

* Al Masyi’ah (Kehendak Allah)

Yaitu meyakini bahwa semua yang kejadian terjadi itu semua atas kehendak Allah, tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Apa yang Ia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Ia kehendaki maka tidak akan terjadi. Allah ta’ala berfirman:

 مَن يَشَإِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ  

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (QS. Al-An’aam: 39).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا فَعَلُوْهُ

“Andaikan Allah menghendakinya, tentu mereka tidak akan jadi melakukannya…” (QS. Al An’am: 137)

Dalam hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

واعلمْ أنَّ ما أصابكَ لم يكن ليُخطِئَكَ وما أخطأكَ لم يكنْ ليصيبكَ

“Ketahuilah apa yang menimpamu itu tidak akan luput darimu. Dan yang luput darimu karena memang tidak ditakdirkan untuk terjadi padamu” (HR. Ahmad no.2804, disahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).  

* Al Khalqu (Perbuatan Makhluk Adalah Ciptaan Allah)

Yaitu meyakini bahwa semua kejadian yang terjadi, baik perbuatan makhluk dan hasil perbuatannya, itu semua adalah ciptaan Allah. Allah ta’ala berfirman:

لَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ  

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu” (QS. Az-Zumar: 62)

Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ  

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffaat: 96).

Sikap kita sebelum mengetahui hasil

Takdir di tangan Allah. Dan kita tidak dibebani oleh Allah untuk mengetahui takdir dan kita tidak akan bisa mengetahui takdir. Karena itu semua ada di sisi Allah. Maka tidak perlu menebak-nebak takdir dan juga tidak perlu khawatir terhadap takdir di masa depan. Yang menjadi tugas kita dan yang bisa kita lakukan sebagai makhluk adalah:

1. Bersemangat dalam perkara yang baik

Jika perkara yang kita akan lakukan itu baik, maka bersemangatlah untuk mengerjakannya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، وإنْ أَصَابَكَ شيءٌ، فلا تَقُلْ لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ، فإنَّ لو  تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah. Namun setiap Mukmin itu baik. Semangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam perkara tersebut), dan jangan malas. JIka engkau tertimpa musibah, maka jangan ucapkan: andaikan saya melalukan ini dan itu. Namun ucapkan: “qadarullah wa maa-syaa-a fa’ala (ini takdir Allah, apa yang Allah inginkan itu pasti terjadi)”. Karena ucapkan “andaikan…” itu akan membuka pintu setan” (HR. Muslim no. 2664).

2. Berusaha semaksimal mungkin, hasilnya serahkan kepada Allah

Hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk menggapai kebaikan, namun mengenai hasilnya tentu Allah yang menentukan, kita tawakal kepada Allah. Dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

قال رجل: يا رسول اللّه أعقلها وأتوكّل، أو أطلقها وأتوكّل؟ -لناقته- فقال صلى الله عليه وسلم: «اعقلها وتوكّل»

“Ada seorang yang berkata: wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal? Ataukah saya biarkan dan lalu tawakal saja? Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Ikatlah untamu baru kemudian tawakal” (HR. At Tirmidzi no.2517, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata:

كان أهل اليمن يحجون ولا يتزودون، ويقولون: نحن المتوكلون، فإذا قدموا مكة سألوا الناس، فأنزل اللّه تعالى: {وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى}.

”Dahulu penduduk Yaman pergi haji tanpa membawa bekal sama sekali. Mereka berkata: kami bertawakal. Namun ketika mereka tiba di Mekah, mereka meminta-minta kepada orang lain. Maka turunlah ayat (yang artinya) : “Berbekallah! Namun sebaik-baik bekal adalah takwa” (QS. Al Baqarah: 197)” (HR. Al Bukhari).

3. Ridha dengan ketetapan Allah walaupun Allah menakdirkan hal yang terasa pahit

Karena yang disebutkan dalam hadis tentang iman adalah “iman kepada takdir, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk”. Maka wajib sabar dalam menghadapi takdir yang buruk. Orang yang jengkel dan marah kepada takdir, sejatinya sedang marah dan jengkel kepada Zat yang menetapkan takdir yaitu Allah ta’ala. Sungguh tidak layak sama sekali!

Dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

ليسَ مِنَّا مَن ضَرَبَ الخُدُودَ، وشَقَّ الجُيُوبَ، ودَعا بدَعْوَى الجاهِلِيَّةِ.

“Bukan golonganku, orang yang suka menampar-nampar pipi, atau merobek-robek baju, atau menyeru dengan seruan jahiliyah (ketika sedih)” (HR. Al Bukhari).

Sabar artinya menahan diri dari apa yang dilarang oleh syariat ketika menghadapi sesuatu yang tidak disukai. Sabar itu hukumnya wajib. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung” (QS. Al Imran: 200).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَاتَّبِعْ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Yunus: 109).

Allah ta’ala juga berfirman:

وَاصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Hud: 115).

Dan ayat-ayat yang lainnya, yang terdapat perintah untuk bersabar. Sabar disebutkan dengan fi’il amr (kata kerja perintah). Sedangkan kaidah ushul fiqih mengatakan:

الأصل في الأمر للوجوب

“Hukum asalnya kata perintah menghasilkan hukum wajib”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

فيجب على الإنسان أن يصبر على المصيبة, و ألا يحدث قولا محرما و لا فعلا محرما

“Maka wajib bagi setiap orang untuk bersabar terhadap musibah dan tidak mengucapkan perkataan yang haram serta tidak melakukan perbuatan yang haram (ketika menghadapi musibah)” (Syarah Hadits Jibril, hal. 84).

Tidak boleh beralasan dengan takdir

Bagaimana hukum mengatakan “ini kan sudah takdir…” terhadap suatu perbuatan? Perkataan seperti ini disebut juga dengan al ihtijaj bil qadar atau beralasan dengan takdir.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

تبين لنا أن الاحتجاج بالقدر على المصائب جائز، وكذلك الاحتجاج بالقدر على المعصية بعد التوبة منها جائز، وأما الاحتجاج بالقدر على المعصية تبريراً لموقف الإنسان واستمراراً فيها: فغير جائز

“Jelas bagi kita bahwa beralasan dengan takdir terhadap suatu musibah, ini dibolehkan. Demikian juga beralasan dengan takdir terhadap suatu maksiat, setelah pelakunya bertobat, ini juga dibolehkan. Adapun beralasan dengan takdir untuk membenarkan suatu maksiat dan membela maksiat seseorang, dan agar bisa terus-menerus melakukannya, maka ini tidak diperbolehkan” (Syarah Hadits Jibril ‘alaihissalam, 93).

Maka, beralasan dengan takdir hukumnya boleh dalam 2 keadaan:

1. Menanggapi suatu musibah

Seperti ketika ada anggota keluarga kita yang meninggal, atau kita kehilangan barang, atau usaha kita merugi, maka kita katakan “mau bagaimana lagi… ini sudah takdir Allah”. Ini boleh.

2. Ketika bertobat dari suatu maksiat  

Seperti ketika seseorang yang mengonsumsi narkoba, lalu ditangkap polisi dan hidupnya kacau-balau. Kemudian ia bertobat dan menyesal sambil mengatakan, “Andaikan waktu bisa diulang, saya pasti akan jauhi narkoba. Namun bagaimana lagi… ini sudah takdir Allah”. Ini juga hukumnya boleh.

Namun tidak diperbolehkan beralasan dengan takdir untuk membenarkan maksiat. Misalnya, ketika pezina ditanya “kenapa kamu berzina?” lalu ia menjawab “yaah.. sudah takdir Allah, Pak. Kalau Allah tidak takdirkan juga saya tidak berzina”. Ini tidak diperbolehkan dan alasan tersebut batal, ia tetap wajib di hukum, dan perbuatan seperti ini persis dengan perbuatan kaum Musyrikin. Allah ta’ala berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

“Orang-orang musyrikin akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak berbuat syirik dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun”. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta” (QS. Al An’am: 148).

Takdir Allah pasti baik

Takdir Allah dalam pandangan manusia ada yang baik dan ada yang buruk, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Namun di sisi Allah, semua takdir itu baik. Namun manusia banyak tidak mengetahui hikmah di balik setiap takdir yang Allah tetapkan. Allah ta’ala berfirman:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah: 216).

Allah ta’ala juga berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا)

“Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya” (QS. An Nisa: 19).

Contohnya, ibunya Nabi Musa ‘alaihissalam diperintahkan untuk melemparkan bayinya ke laut agar selamat dari pasukan Fir’aun. Tentunya ini hal yang menyedihkan dan tidak disukai. Namun ternyata itu menjadi sebab selamatnya bayi tersebut, dan akhirnya Allah muliakan ia sehingga menjadi seorang Nabi.

Contoh lain, kisah Nabi Khidhir ‘alaihissalam diperintahkan oleh Allah membunuh dua pemuda. Ternyata di balik itu ada hikmah yang besar. Allah ta’ala berfirman:

(وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا * فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا)
[سورة الكهف:80،81]

“Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya)” (QS. Al Kahfi: 80 – 81).

Takdir Allah pasti ada hikmahnya

Allah ta’ala tidak melakukan kesia-siaan dan permainan. Semua yang Allah tetapkan, pasti ada hikmahnya. Allah ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

مشهد الحكمة، وأن حكمته سبحانه اقتضت ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا

“Melihat kejadian dari kacamata hikmah. Bahwa setiap kejadian itu terjadi atas dasar hikmah yang Allah ketahui. Tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketetapan takdir dengan sia-sia” (Al Fawaid, hal. 46 – 47).

Hikmah paling minimal dari takdir Allah yang berupa musibah dan perkara yang pahit bagi manusia adalah untuk menghapuskan dosa dan mengangkat derajat manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يصيب المسلم هم ولا غم ولا نصب ولا وصب( وهو المرض) ولا أذى حتى الشوكة إلا كفر الله بها من خطاياه

“Seorang Muslim tertimpa kesedihan, kesusahan, penyakit, gangguan walau sekedar tertusuk duri, pasti Allah akan menjadikannya penghapus dosa-dosa yang ia miliki” (HR. Al Bukhari – Muslim).

Buah iman kepada takdir

Iman kepada takdir akan membuat hati tenang. Karena seseorang menjadi yakin bahwa keburukan yang menimpanya memang sudah ditakdirkan dan ia tidak akan pernah bisa luput darinya apapun yang ia lakukan. Dari Abud Darda’ radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لا يَبلُغُ عَبدٌ حَقيقةَ الإيمانِ حتى يَعْلَمَ أنَّ ما أصابَهُ لم يَكُنْ لِيُخْطِئهُ، وما أَخْطَأَهُ لم يَكُنْ لِيُصيبَهُ

“Seseorang tidak akan mendapati iman yang sejati hingga ia mengetahui bahwa takdir yang menimpa dirinya tidak akan meleset, dan apa yang luput darinya karena memang tidak ditakdirkan untuknya” (HR. Al Bazzar dalam Al Ahkam Asy Syar’iyyah [1/80], ia mengatakan: “sanadnya hasan”, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.3019).

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Ingat bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan para hamba-Nya; baik geraknya, diamnya, bahkan keinginannya. Maka, apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sebaliknya yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi. Sehingga tidak ada satupun partikel di alam ini bisa bergerak, baik di alam yang atas maupun di alam yang bawah, kecuali atas izin dan kehendak-Nya. Jadi semua hamba itu hanyalah alat. Maka, lihatlah kepada Zat yang menjadikan manusia itu mengganggumu, jangan kau lihat kelakuan (buruk) mereka terhadapmu; niscaya kamu akan menjadi tenang, tidak galau, tidak pula sedih” (Jami’ul Masa’il, 1/168).

Wallahu a’lam.

Referensi:

* Syarah Al Ushul Ats Tsalatsah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
* Syarah Hadits Jibril, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
* Al Mustafad min Lum’atul I’tiqad, karya Syaikh Abdullah Al Qushayyir
* Artikel “Belajar Bersabar Bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah”, karya Ust. Dr. Musyaffa Ad Darini

Penulis: Yulian Purnama

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *