Bolehkah Bersentuhan Kulit Dengan Nonmuslim?
Tersebar kerancuan di tengah masyarakat, bahwa kaum Muslimin tidak boleh bersentuhan kulit dengan nonmuslim. Ini adalah sebuah kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini karena salah dalam memahami ayat Al Qur’an yang bicara tentang najisnya orang non Muslim.
Praktek Rasulullah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bermuamalah dengan nonmuslim, berjual-beli dengan mereka, berbisnis dengan mereka, bertetangga dengan mereka, serta lelaki Muslim dibolehkan menikahi wanita ahli kitab.
Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut” (HR. Bukhari no. 2068).
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun berjual-beli dengan nonmuslim bahkan menggunakan produk nonmuslim. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun melakukan kerjasama bisnis dengan nonmuslim. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, ia berkata:
أَعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَيْبَرَ اليَهُودَ: أَنْ يَعْمَلُوهَا ويَزْرَعُوهَا، ولَهُمْ شَطْرُ ما يَخْرُجُ منها
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi di Khaibar, sehingga mereka dapat bekerja mengolah lahan dan menanaminya. Dan mereka mendapatkan sebagian dari hasil panennya” (HR. Bukhari no.2285, Muslim no.1551).
Dan bentuk-bentuk muamalah yang lainnya. Ini semua berkonsekuensi adanya persentuhan kulit dengan nonmuslim, dan itu dibolehkan.
Makna ayat
Adapun ayat dalam surat At Taubah, Allah ta’ala berfirman:
فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ
“Berpalinglah dari mereka (orang-orang musyrik), sungguh mereka adalah najis” (QS. At Taubah: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini:
إنهم رجس أي : خبثاء نجس بواطنهم واعتقاداتهم
“[mereka adalah najis] maksudnya hati mereka dan akidah mereka adalah najis” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 7 hal. 267).
Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan: “Najis yang dimaksud disini adalah ma’nawiyah (konotatif), yaitu bahwa mereka itu berbahaya, buruk dan rusak. Adapun badan mereka, jika memang bersih, tentu tidak dikatakan najis secara hissiy (indrawi)” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, Al Maktabah Asy Syamilah).
Maka kulit orang nonmuslim hukum asalnya suci, bukan najis, dan boleh bersentuhan dengan mereka. Kecuali jika kulit mereka diketahui terkena najis dari benda lain, seperti jika kulit mereka terkena kulit atau air liur babi, atau najis yang lainnya.
Tidak boleh bersentuhan dengan wanita nonmahram
Tentunya boleh bersentuhan dengan nonmuslim, selama ia bukan lawan jenis yang bukan mahram. Lelaki muslim tidak boleh menyentuh wanita nonmuslim yang bukan mahram. Demikian juga sebaliknya, karena terdapat larangan terhadap hal tersebut.
Dari Ma’qal bin Yasar radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya (bukan mahramnya)” (HR. Ar Ruyani dalam Musnad-nya, 2/227, disahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1/447).
Demikian juga berjabat tangan dengan lawan jenis yang nonmahram, ulama empat mazhab mengharamkan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
Jabat tangan atau bersentuhan dengan nonmahram tidak diperbolehkan walaupun dengan pelapis atau kain penghalang. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan: “Tidak diperbolehkan kepada wanita tua renta, ataupun wanita muda, ini pendapat yang tepat. Baik dilakukan dengan penghalang, walaupun ia memakai sesuatu di tangannya, maka hendaknya ia tidak bersalaman secara mutlak. Karena bersalaman dengan penghalang itu adalah wasilah kepada bersalaman lain yang tanpa penghalang. Maka wajib untuk meninggalkannya secara mutlak dalam rangka mengamalkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita” (Mauqi’ Ibnu Baz, fatwa nomor 12520).
Wallahu a’lam.
Yulian Purnama
Software Engineer di Rendact.com, alumni S1 Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada. Alumni dan pengajar Ma’had Al Ilmi Yogyakarta.
Terima kasih atas penjelasannya