Adab-Adab Terhadap Pegawai (Bagian 1)

Islam adalah agama yang sempurna dan universal. Islam telah mengajarkan adab-adab kebaikan dalam setiap sendi kehidupan. Termasuk adab-adab dalam dunia pekerjaan. Banyak yang telah membahas adab-adab seorang pegawai. Namun, perlu diketahui bahwa Islam juga mengajarkan adab-adab majikan terhadap pegawainya. Di antara adab-adab tersebut adalah sebagai berikut.

1. Membuat akad yang jelas

Hubungan antara majikan dan pegawainya adalah hubungan jual-beli jasa, lebih tepatnya akad ijarah (sewa) jasa. Majikan menyewa pegawainya untuk melakukan pekerjaan tertentu di waktu tertentu. Maka, akad ijarah yang dibuat di sini haruslah jelas sejak awal. Jelas pekerjaannya, jelas rentang waktunya, dan jelas upahnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, ia berkata,

نَهَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ عن بَيْعِ الحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang jual beli dengan mengundi kerikil dan melarang jual beli gharar” (HR. Muslim no. 1513).

Jual beli gharar adalah jual beli yang terdapat unsur ketidakjelasan, termasuk di dalamnya tidak boleh melakukan akad sewa jasa yang tidak jelas upahnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menjelaskan, “Pemilik usaha wajib menentukan upah yang jelas. Ia tidak boleh mempekerjakan orang seperti itu tanpa upah yang jelas karena ini akan membawa kepada perselisihan dan permusuhan. Karena ini merupakan bentuk upah yang majhul (tidak jelas), maka tidak diperbolehkan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 1: 1481).

2. Tidak memberikan pekerjaan di luar akad

Ketika akad perkerjaan sudah jelas, pegawai hanya dituntut untuk bekerja sesuai dengan akad yang telah disepakati. Majikan tidak boleh memberikan pekerjaan di luar cakupan pekerjaan yang telah disepakati. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad yang kalian sepakati” (QS. Al Maidah: 1).

Rasulullah shallallahu’alahi wasallam bersabda:

والمسلمونَ على شروطِهمْ إلَّا شرطًا حرَّمَ حلالَا أوْ أحلَّ حرامًا

“Kaum Muslimin wajib memenuhi apa yang mereka persyaratkan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi no. 1352, ia berkata: “hasan shahih”).

Maka, membebani pegawai di luar cakupan pekerjaan yang disepakati, ini adalah bentuk kezaliman dan pengkhianatan terhadap perjanjian. Pengecualiannya jika dibuat kesepakatan yang baru yang diridhai kedua belah pihak atau pegawai ridha untuk mengerjakan pekerjaan di luar akad tersebut.

3. Tidak melarangnya melakukan kewajiban

Pada asalnya, waktu dari si pegawai pada jam kerja yang disepakati adalah milik majikannya. Pegawai tidak boleh menggunakan waktunya untuk aktivitas lainnya selain aktivitas pekerjaan yang diminta oleh majikannya. Namun, majikan tidak boleh memerintahkan pegawainya untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban pribadi si pegawai seperti kewajiban shalat fardhu, shalat Jumat, shalat Id, dan semisalnya. Dan pegawai tidak wajib mengganti rugi jika jam kerjanya ia gunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.

Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan,

ولا ضمانَ على الأجير الخاصِّ” نصَّ عليه، “وهو الذي يُسلِّم نَفْسَه إلى المُستأجِر” أي: يقع عليه العقدُ مُدَّةً معلومةً يَستحِقُّ المُستأجِرُ نَفْعَها في جمعها، سوى فعلِ الصَّلوات الخمسِ في أوقاتها بسُنَنِها، وصلاةِ جمعةٍ وعِيدٍ، ولا يَستنيب؛ وسُمِّيَ خاصًّا لاختصاص المُستأجِرِ بنفعه تلك المُدَّةَ».

“[Tidak ada denda bagi al-ajir al-khash] beliau (penulis kitab Al-Muqni’) menegaskan hal ini. [dia adalah orang yang menyerahkan jasanya kepada al-musta’jir (majikan)], maksudnya: telah terjadi akad ijarah untuk jangka waktu tertentu, yang pada rentang waktu ini al-musta’jir berhak mengambil manfaat dari al-ajir al-khas. Pengecualiannya adalah waktu yang digunakan untuk salat lima waktu pada waktunya, disertai dengan sunnah-sunnahnya, salat Jumat, dan salat Id tanpa perlu mengganti jam kerja. Al-ajir (karyawan) tersebut dilabeli dengan istilah “khash” karena ia mengkhususkan rentang waktu kerjanya tersebut untuk memberikan manfaat kepada al musta’jir (majikan).” (Al-Mubdi’ Syarah Al Muqni’, 5: 108).

Dalil untuk masalah ini juga sama dengan dalil pada poin keempat berikut.

4. Tidak memerintahkan maksiat

Majikan tidak boleh memerintahkan pegawainya melakukan maksiat dan pegawai pun tidak boleh taat ketika diperintahkan untuk berbuat maksiat, sekalipun itu dalam urusan pekerjaan. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih didahulukan. Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثَلاثٌ مَن كُنَّ فيه وجَدَ طَعْمَ الإيمانِ: مَن كانَ يُحِبُّ المَرْءَ لا يُحِبُّهُ إلَّا لِلَّهِ، ومَن كانَ اللَّهُ ورَسولُهُ أحَبَّ إلَيْهِ ممَّا سِواهُما، ومَن كانَ أنْ يُلْقَى في النَّارِ أحَبَّ إلَيْهِ مِن أنْ يَرْجِعَ في الكُفْرِ بَعْدَ أنْ أنْقَذَهُ اللَّهُ منه

“Tiga jenis orang yang jika termasuk di dalamnya maka seseorang akan merasakan lezatnya iman: orang yang mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya paling ia cintai daripada selain keduanya, dan orang yang dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada ia kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan ia dari kekufuran” (HR. Bukhari no. 6041, Muslim no.43).

5. Pegawai berbeda dengan budak

Perlu diketahui bahwa pegawai berbeda dengan budak (hamba sahaya). Dalam Al Qamus Al Muhith disebutkan:

الرَّقِيقُ الشخص المَمْلُوك كلُّهُ أو بعضُه

“Hamba sahaya (budak) adalah orang yang dimiliki keseluruhannya atau sebagiannya”.

Maka, hamba sahaya itu dimiliki oleh orang lain, sehingga ia tidak bebas melakukan apa yang ingin ia lakukan. Dan majikan dari budak berhak untuk memerintahkannya apa saja sesuai keinginannya kecuali yang bertentangan dengan syariat.

Adapun pegawai tidak demikian. Majikan tidak berhak memerintahkan pegawai untuk melakukan apa saja sesuai keinginannya. Majikan hanya berhak memberikan pekerjaan sesuai dengan perjanjian kerja. Misalnya, petugas administrasi keuangan tidak boleh diperintahkan untuk membersihkan mobil atau menyapu lantai. Supir pribadi tidak boleh diperintahkan untuk mencuci pakaian. Dan contoh-contoh semisalnya.

Bersambung …

Yulian Purnama

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *