Wajib untuk Salat di Rumah di Tengah Merebaknya Wabah Virus Corona COVID-19
Sebagai seorang muslim, kita harus tunduk pada apa pun yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang keadaan hamba-Nya yang beriman,
{وَما كانَ لِمُؤمِنٍ وَلا مُؤمِنَةٍ إِذا قَضَى اللَّـهُ وَرَسولُهُ أَمرًا أَن يَكونَ لَهُمُ الخِيَرَةُ مِن أَمرِهِم ۗ وَمَن يَعصِ اللَّـهَ وَرَسولَهُ فَقَد ضَلَّ ضَلـٰلًا مُبينًا}
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, lalu ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [Surat al-Ahzab: 36]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(والذي نفسي بيده، لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به).
“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai hawa nafsunya mengikuti syariat yang aku datang dengannya.” [Diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam kitab Sunan beliau (no. 43) dan disahihkan oleh al-Albaniy dalam kitab beliau Shahih Sunan Ibn Majah (no. 41).]
Dalam kondisi yang berbeda, yang disyariatkan oleh Allah itu bisa berbeda
Setelah kita memahami prinsip ini, maka ketahuilah bahwa dalam kondisi yang berbeda, apa yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pun bisa berbeda. Dalam keadaan yang berbeda, yang tergolong sebagai amalan kebaikan itu bisa berbeda.
Misalnya, syariat menghukumi bahwa kencing manusia itu najis. Wajib bagi seseorang untuk mencuci bagian tubuhnya yang terkena atau kecipratan air kencingnya tersebut. Akan tetapi, jika yang mengenai bagian tubuhnya itu adalah percikan kencing yang sangat sedikit sehingga tidak terlihat oleh mata, maka hal ini tidak mengapa. Percikan kencing yang sangat sedikit tersebut tetap termasuk benda najis, akan tetapi ia dimaafkan oleh syariat. Sehingga pada kondisi ini, dia tidak perlu waswas dan berpikir, “Bisa jadi bagian tubuh saya yang ini terkena percikan kencing yang sangat sedikit,” atau, “Bisa jadi bagian pakaian saya yang ini juga terkena.”
Contoh lainnya adalah ketika syariat menghukumi haramnya makan babi, maka dalam kondisi tertentu, justru boleh bagi seseorang untuk memakannya. Yaitu ketika kondisinya adalah tidak ada lagi makanan yang bisa menyelamatkan nyawanya kecuali babi tersebut, maka boleh baginya untuk memakannya dengan kadar yang secukupnya untuk menyelamatkan nyawanya tersebut, bukan sampai kenyang. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa dalam kondisi tersebut wajib baginya untuk memakannya. Syaikh ‘Aliy ibn Sulaiman ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy rahimahullah (w. 885 H) berkata,
قوله: حل له منه ما يسد رمقه، يعني، ويجب عليه أكل ذلك، على الصحيح من المذهب، نص عليه.
“Perkataan penulis, ‘Halal baginya untuk memakan (bagian dari babi tersebut) yang dapat menyelamatkan nyawanya,’ yakni, wajib baginya untuk memakannya, berdasarkan pendapat yang sahih di mazhab, dan pendapat ini disebutkan secara tegas oleh Imam Ahmad rahimahullah.” [al-Inshaf fiy Ma’rifatir-Rajih minal-Khilaf ‘ala Madzhabil-Imam al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, karya ‘Aliy ibn Sulaiman ‘Ala’ud-Din al-Mardawiy (27 / 239)]
Hukum salat berjamaah di masjid dan salat Jumat di tengah wabah COVID-19
Demikian pula, salat berjamaah di masjid adalah amalan yang sangat besar keutamaannya, sampai-sampai mazhab Syafii berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah dan mazhab Hambali berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, seperti kondisi saat ini di mana wabah virus corona penyebab COVID-19 telah menyebar di Indonesia khususnya pulau Jawa, maka sebaiknya tidak melakukan salat berjamaah di masjid dan bahwa salat Jumat sebaiknya diganti dengan salat zuhur empat raka’at di rumah.
Para ulama di Hai’ah Kibaril-’Ulama (Dewan Ulama Besar) Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa yang ringkasnya adalah sebagai berikut: Bagi yang terinfeksi corona, maka haram baginya untuk salat berjamaah di masjid dan salat Jumat. Bagi yang diwajibkan oleh para dokter untuk mengisolasi diri, maka wajib baginya untuk taat pada perintah tersebut. Dan bagi orang selain mereka, yaitu yang khawatir tertular dari orang lain atau menulari orang lain, maka mereka memiliki rukhshah (keringanan dari syariat) untuk tidak salat berjamaah di masjid dan salat Jumat.
Namun, mengingat penyebaran virus corona penyebab COVID-19 yang sangat cepat, kemudian ditambah lagi orang yang terinfeksi virus ini bisa jadi baru menunjukkan gejala setelah rentang waktu 14 hari sejak tertular virus pertama kali, atau bisa jadi dia justru tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala sama sekali akan tetapi dia tetap bisa menulari orang lain yang kekebalan tubuhnya lebih lemah darinya, Hai’ah Kibaril-’Ulama Saudi Arabia kemudian mengeluarkan fatwa berikutnya yaitu bahwa dalam kondisi seperti sekarang ini wajib untuk tidak salat berjamaah di masjid dan salat Jumat. Dengan kata lain, wajib baginya untuk salat di rumah (jika bisa salat berjamaah ketika di rumah, maka alhamdulillah) dan wajib baginya untuk salat zuhur empat raka’at di rumah sebagai pengganti salat Jumat. Demikian pula, segala bentuk keluar rumah, apalagi bersentuhan dengan orang lain seperti berjabat tangan dan berkumpul dengan banyak orang dalam satu tempat, adalah hal yang wajib untuk dihindari semaksimal mungkin. Tentu kita sedih dengan kondisi ini, yaitu ketika kita menjadi tidak bisa lagi salat berjamaah ke masjid dan melaksanakan ibadah salat Jumat. Akan tetapi, inilah yang diwajibkan oleh syariat dalam kondisi ini. Sebagaimana syariat dalam kondisi asalnya mengharamkan babi, tetapi kemudian membolehkan bahkan mewajibkan kita untuk memakannya dalam kondisi darurat, maka demikian pula, syariat memerintahkan kita dalam kondisi asalnya untuk salat berjamaah di masjid dan untuk melaksanakan ibadah salat Jumat, tetapi kemudian melarang kita untuk melakukannya dalam kondisi darurat.
Dalil yang dibawakan oleh Hai’ah Kibaril-’Ulama adalah wajibnya kita untuk menjauhi sebab-sebab yang dapat mencelakakan diri kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{وَلا تُلقوا بِأَيديكُم إِلَى التَّهلُكَةِ}
“Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” [Surat al-Baqarah: 195]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
{وَلا تَقتُلوا أَنفُسَكُم ۚ إِنَّ اللَّـهَ كانَ بِكُم رَحيمًا}
“Janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” [Surat an-Nisa’: 29]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(لا ضرر ولا ضرار).
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” [Hadits sahih, diriwayatkan oleh Malik, ad-Daruquthniy, al-Baihaqiy, dan al-Hakim.]
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk tidak berkumpul dengan banyak orang ketika merebaknya wabah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(لا يورد ممرض على مصح).
“Jangan campur unta yang sakit dengan unta yang sehat.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
(فر من المجذوم كما تفر من الأسد).
“Larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhariy dalam kitab Shahih beliau (no. 5707).]
Begitu pula, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(إذا سمعتم الطاعون بأرض فلا تدخلوها، وإذا وقع بأرض وأنتم فيها فلا تخرجوا منها).
“Jika engkau mendengar wabah di suatu daerah, maka janganlah memasukinya. Dan jika wabah tersebut menjangkiti sebuah daerah dan engkau ada di dalamnya, maka janganlah keluar darinya.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Semua dalil ini menunjukkan bahwa wajib bagi kita untuk menjauhi sebab-sebab yang dapat membuat wabah penyakit COVID-19 ini semakin tersebar. Di antara sebab tersebut adalah salat berjamaah di masjid dan salat Jumat. Bagaimana jika seseorang tetap memaksakan diri dengan salat berjamaah ke masjid? Salatnya sah, akan tetapi dengan perbuatannya tersebut dia telah membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, yang ini bertentangan dengan dalil-dalil syariat di atas. Begitu pula ketika di sebuah daerah tidak ada tanda-tanda orang yang terkena virus corona penyebab COVID-19, selama daerah tersebut berada di pulau Jawa yang saat ini merupakan pusat mewabahnya virus ini di Indonesia, maka tidak boleh bagi mereka di daerah tersebut untuk melaksanakan salat berjamaah di masjid, mengingat bisa jadi orang yang telah terkena virus tidak menunjukkan gejala sama sekali pada tubuhnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membuat wabah virus ini menyebar pula ke pulau-pulau lain di Indonesia.
Demikian pula, di antara sebab yang dapat membuat wabah penyakit COVID-19 ini semakin tersebar adalah keluar rumah tanpa ada keperluan yang mendesak, sehingga membuat diri kita sendiri terpapar virus di luar sana. Pemerintah kita telah menutup sekolah, universitas, dan kantor-kantor pemerintah, dengan tujuan agar kita berdiam dan mengisolasi diri di rumah, dalam rangka menjauhi sebab-sebab yang dapat mencelakakan diri kita ini. Sungguh tercela orang-orang yang justru memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk berlibur ke tempat-tempat wisata dan nongkrong di warung dan kafe, karena ini dapat membahayakan kesehatan dirinya sendiri dan terlebih lagi kesehatan publik secara umum. Sebagaimana yang telah kami singgung di atas, orang yang tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala sama sekali bisa jadi memiliki virus corona penyebab COVID-19 di tubuhnya. Sehingga ketika dia berinteraksi dengan orang lain atau berkumpul dengan banyak orang di sebuah tempat, maka wabah virus ini akan semakin cepat menyebar tanpa disadari. Baru bisa disadari jika orang yang terinfeksi tersebut memiliki kekebalan tubuh yang sedang lemah sehingga dia mulai menunjukkan gejala. Nas’alullah as-salamah wal-’afiyah.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala segera mengangkat wabah ini, dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi diri kita dan kaum muslimin seluruhnya dari segala marabahaya yang mengancam mereka.
Cisitu, Bandung, 27 Rajab 1441 H
Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, B.A., M.Sc