Tafsir Ringkas Ayat-Ayat Puasa Ramadhan

Setiap orang yang memiliki iman di hatinya pasti akan merasa bahagia kedatangan bulan Ramadhan. Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif membawakan satu riwayat dari Mu’alla bin Al-Fadhl (ulama tabi’ut tabiin) yang mengatakan, “Dahulu mereka (para sahabat Nabi) selama enam bulan sebelum datang Ramadhan, mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal mereka selama bulan Ramadhan.” Begitulah orang beriman sangat terpaut hatinya dengan bulan Ramadhan.

Diantara persiapan yang perlu dilakukan dalam memasuki bulan Ramadhan adalah persiapan ilmu tentang puasa Ramadhan. Surat Al-Baqarah ayat 183-187 adalah diantara ayat yang sering dibaca dan diulang-ulang oleh para imam salat di bulan Ramadhan karena berkenaan dengan syariat puasa Ramadhan. Akan lebih baik jika seorang muslim dapat mengetahui makna dan tafsir dari ayat-ayat tersebut karena banyak mengandung faedah yang sangat bermanfaat. Risalah ini penulis sajikan dalam rangka memudahkan kaum muslimin mencapai tujuan tersebut. Tafsir surat Al-Baqarah ayat 183-187 penulis bawakan secara ringkas dari beberapa referensi kitab tafsir sebagai berikut:

  1. Tafsir Al-Qur`an al-‘Azhim karangan Imam Ibnu Katsir
  2. Tafsir Ma’alim At-Tanzil karangan Imam Al-Baghawi
  3. Aisir at-Tafasir karangan Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi
  4. Taisir Karim ar-Rahman karangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Adapun hadis-hadis dan susunan periwayatan (sanad) tidak dicantumkan untuk mempersingkat tulisan. Bagi yang ingin mendalami lebih lanjut dan mengetahui hadis-hadis beserta sanadnya dan perkataan para ulama secara rinci dipersilakan untuk merujuk kepada 4 kitab di atas.

Ayat 183

يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa…”

Ayat ini turun di Madinah pada tahun ke-2 Hijriah, 15 tahun setelah diutusnya Nabi Muhammad ﷺ sebagai Rasul. Melalui ayat ini Allah menyeru orang-orang yang mengaku beriman untuk berpuasa.

 کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ‏ ١٨٣

“…sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Syariat puasa bukanlah syariat yang baru. Perkara tersebut juga telah disyariatkan kepada “orang-orang sebelum kamu”, yaitu para ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Potongan ayat ini menjelaskan bahwa syariat kewajiban puasa yang diwajibkan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat adalah “sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”, yaitu sama tata-cara dan ketentuannya dengan syariat puasa yang pernah diwajibkan atas kaum Yahudi dan Nasrani. Para ahli kitab dahulu disyariatkan berpuasa tiga hari setiap bulan dan pada hari Asyura dengan cara menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan dimulai sejak waktu isya, atau tertidur sebelumnya (sebelum isya), hingga waktu magrib keesokan harinya dengan niat ikhlas karena Allah ﷻ.

Syariat puasa yang seperti ini tidaklah ringan. Namun, ayat ini menjelaskan kepada Nabi dan para sahabat bahwa mereka mempunyai teladan dalam syariat ini. Kalaulah para ahli kitab dahulu mampu melaksanakannya, maka mereka pun bisa melaksanakannya juga, dengan izin Allah ﷻ. Ayat ini sekaligus menjadi penyemangat agar mereka dapat menunaikan puasa dengan penunaian yang lebih baik dari apa yang telah ditunaikan para ahli kitab dahulu. Dan syariat puasa memiliki hikmah yang sangat besar. Puasa dapat membersihkan jiwa, menghapus dosa, dan sebagai madrasah jiwa dan raga yang tujuan akhirnya adalah “agar kamu bertakwa” kepada Allah ﷻ.

Ayat 184

اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ

“Pada hari-hari tertentu…”

Ayat ini dan ayat sebelumnya turun dalam waktu yang bersamaan. Potongan ayat ini secara khusus menjelaskan kapan waktu yang diwajibkan untuk berpuasa, yaitu “pada hari-hari tertentu”. Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa ketika tiba di Madinah sebelum ayat puasa diturunkan, Nabi ﷺ telah melaksanakan puasa seperti puasanya ahli kitab, yaitu tiga hari setiap bulan dan di hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram). Terkait tafsir dari potongan ayat ini ada dua pendapat:

  • Pendapat pertama dinukil dari riwayat Mu’adz bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin ‘Abbas yang mengatakan bahwa maksud dari “hari-hari tertentu” adalah tiga hari setiap bulan dan hari Asyura, sama seperti syariat puasa ahli kitab yang telah dilaksanakan Nabi ﷺ sejak hijrah. Turunnya rangkaian ayat 183-184 menjadikannya dihukumi wajib untuk dilakukan.
  • Pendapat kedua dinukil dari riwayat Abdullah bin ‘Umar yang mengatakan bahwa “hari-hari tertentu” maksudnya adalah bulan Ramadhan. sehingga menurut pendapat ini, kewajiban puasa Ramadhan telah dimulai sejak diturunkannya ayat ini. Adapun puasa tiga hari setiap bulan dan puasa hari ‘Asyura yang dilakukan Nabi ﷺ sebelumnya tetap disyariatkan sebagai puasa sunnah. 

فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ​ؕ

“…barang siapa diantara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan, maka dia boleh mengganti puasanya di hari yang lain…”

Maksudnya,“barang siapa diantara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (safar)”, maka boleh tidak berpuasa dan “mengganti (mengqadha`) puasanya di hari yang lain”. Jika “pada hari-hari tertentu” mengikuti pendapat pertama, maka maksud dari “di hari yang lain” adalah hari lain yang mereka dalam keadaan sehat dan tidak dalam perjalanan (mukim). Adapun jika mengikuti pendapat kedua, maka maksudnya adalah hari lain di luar bulan Ramadhan.

وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ ؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ‏ ١٨٤

“…dan bagi orang-orang yang berat melaksanakannya (puasa), wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan jika kalian berpuasa, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Bagian ayat ini menjelaskan bahwa di awal-awal pensyariatan kewajiban berpuasa, “bagi orang-orang yang (merasa) berat melaksanakannya (puasa)”, mereka diberi pilihan antara berpuasa, atau tidak berpuasa namun “wajib membayar fidyah” sebagai ganti untuk setiap satu hari tidak berpuasa. Makna fidyah dijelaskan selanjutnya, “yaitu memberi makan seorang miskin”. Para ulama menjelaskan bahwa ukuran fidyah adalah satu porsi makanan yang mengenyangkan sesuai ‘urf dan kebiasaan masyarakat, seperti memberi makan nasi beserta lauk pauknya di Indonesia. Ayat ini menunjukkan bahwa para sahabat Nabi di awal Islam diberi pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah meskipun mereka dalam keadaan sehat dan mukim. Ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan sebagai sarana latihan dalam menjalankan syariat puasa yang tidak mudah.. “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati berbuat baik”, maksudnya dengan memberi makan lebih dari satu orang miskin sebagai ganti untuk satu hari tidak berpuasa, “maka itu lebih baik baginya” daripada hanya memberi makan satu orang miskin.

Ini adalah tahapan pertama dari tiga tahapan syariat puasa. Meskipun demikian, Allah ﷻ  menutup ayat ini dengan menyemangati para sahabat yang sehat dan mukim untuk memilih berpuasa daripada membayar fidyah, “dan jika kalian berpuasa, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” lebih besar pahala dan ganjarannya di sisi Allah ﷻ.

Ayat 185

شَهۡرُ رَمَضَانَ الَّذِىۡٓ اُنۡزِلَ فِيۡهِ الۡقُرۡاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَ بَيِّنٰتٍ مِّنَ الۡهُدٰى وَالۡفُرۡقَانِۚ  

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu dan sebagai pembeda…”

Pada ayat ini, Allah ﷻ  menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan bulan Ramadhan, yaitu bahwa “bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an”. Al-Qur’an diturunkan “sebagai petunjuk bagi manusia (seluruhnya)”, bukan hanya petunjuk untuk orang muslim saja. Al-Qur`an juga mengandung “penjelasan-penjelasan bagi petunjuk itu” sehingga ayat-ayatnya bisa saling menjelaskan, menjadi tafsir satu sama lain dan lebih mudah dipahami. Al-Qur`an juga berfungsi “sebagai pembeda” antara haq dan batil.

فَمَنۡ شَهِدَ مِنۡكُمُ الشَّهۡرَ فَلۡيَـصُمۡهُ

“Maka barangsiapa diantara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa…”

“Barangsiapa diantara kamu menyaksikan bulan itu,” maksudnya memasuki Ramadhan dalam keadaan sehat dan muqim, “maka hendaklah ia berpuasa” pada bulan tersebut (Ramadhan). Merujuk dua pendapat tentang tafsir ayat 184, menurut pendapat pertama, ayat ini adalah awal mula diwajibkannya puasa Ramadhan yang menghapus kewajiban puasa tiga hari setiap bulan dan puasa Asyura. Namun kedua puasa tersebut tetap disyariatkan sebagai puasa sunah. Bagi pendapat kedua, ayat ini sebagai mempertegas ayat 184 tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Dengan demikian, kedua pendapat terebut bersepakat bahwa ayat ini adalah ayat disyariatkannya kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Adapun tata caranya masih sama seperti puasa ahli kitab sebagaimana ayat 183. Dan Allah ﷻ memilih Ramadhan sebagai bulan untuk berpuasa karena keutamaan yang telah disebutkan. Redaksi شَهِدَ “syahida (menyaksikan)” mengisyaratkan bahwa penetapan awal Ramadhan adalah dengan melihat hilal. Potongan ayat ini juga menghilangkan adanya pilihan antara berpuasa atau membayar fidyah bagi yang sehat dan mukim, maka bagi mereka wajib berpuasa. Dan ini adalah tahapan kedua syariat puasa.

وَمَنۡ کَانَ مَرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ 

“…barang siapa yang sakit atau sedang dalam perjalanan, maka mengganti puasanya di hari yang lain…”

Maksudnya, “barang siapa yang sakit atau sedang dalam perjalanan” yang menjadikan sulit untuk berpuasa, maka mereka boleh tidak berpuasa, namun ia wajib “mengganti puasanya di hari yang lain”, yaitu mengqadha` puasa di luar bulan Ramadhan sebanyak hari yang ditinggalkan. Potongan ayat ini kembali menetapkan kembali untuk mereka yang sakit atau sedang safar untuk tidak berpuasa dan bisa menggantinya di luar bulan Ramadhan sejumlah hari yang mereka tidak berpuasa. Lalu bagaimana dengan orang yang memang sudah tidak sanggup berpuasa seperti orang tua renta? Maka bagi mereka berlaku hukum pada ayat 184 bagian akhir, yaitu cukup membayar fidyah sebagai ganti dari puasa dan tidak perlu menggantinya di luar bulan Ramadhan. Dengan kata lain, syariat fidyah pada ayat 184 dihapus kecuali hanya untuk mereka yang benar-benar tidak sanggup berpuasa, baik secara alami seperti orang yang sudah tua renta, maupun secara medis seperti penderita penyakit berat yang menahun, atau yang semisal. Fidyah dapat ditunaikan setiap hari di bulan Ramadhan dengan memberi makan satu orang miskin, baik kepada orang yang sama setiap hari atau kepada orang yang berbeda, atau dapat ditunaikan sekaligus dengan memberi makan 30 orang miskin atau lebih dalam satu hari, seperti yang dilakukan oleh Anas bin Malik ketika ia telah tua renta. Dalam ayat 184, Allah sendiri yang menetapkan bahwa fidyah dibayarkan dengan cara memberi makan orang miskin, dan seperti inilah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi, maka para ulama mengambil kesimpulan tidak bolehnya mengganti fidyah dengan uang.

يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ

“…Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”

Maksudnya, semua ketentuan ini adalah untuk memudahkan kaum muslimin dalam menjalankan syariat puasa.

Faidah: jika ada yang mengatakan, “kalaulah Allah ﷻ benar-benar menginginkan kemudahan, mestinya Allah ﷻ tidak perlu mewajibkan puasa sama sekali, bahkan tidak perlu juga disyariatkan ibadah-ibadah yang lain,” maka jawabannya adalah bahwa Allah ﷻ mensyariatkan berbagai macam ibadah sebagai ujian untuk hamba-Nya. Dan ujian ini mengandung hikmah yang besar Allah ﷻ karena dengan ujian ini akan terbedakan antara hamba-Nya yang benar-benar beriman dengan yang dusta. Selain itu, ujian juga akan menaikkan derajat sang hamba di sisi Allah ﷻ . Kita jumpai di dunia, manusia kerap diberi ujian yang jika berhasil melewatinya maka akan naik kedudukannya (naik kelas, lulus kuliah, naik gaji, naik pangkat, dsb). Namun ujian Allah berbeda dengan ujian manusia. Diantara perbedaannya, manusia bisa saja dan bahkan sering kali menguji dengan ujian yang melebihi batas kemampuan, bahkan dengan sengaja membuat orang lain kesusahan dan senang jika ia tidak berhasil. Berbeda dengan Allah ﷻ yang tidak pernah memberi ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya, bahkan Allah ﷻ  justru menghendaki hamba mudah dan berhasil dalam menjalani ujian tersebut.

وَلِتُکۡمِلُوا الۡعِدَّةَ وَلِتُکَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰٮكُمۡ وَلَعَلَّکُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ‏ ١٨٥

“…Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya (bilangan hari Ramadhan) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu, dan agar kamu bersyukur”

Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya”, maksudnya adalah bahwa kewajiban puasa Ramadhan yang disyariatkan bukan hanya sebagian bulan atau beberapa hari saja, namun selama satu bulan penuh secara sempurna, baik 29 atau 30 hari. “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu”, ini mengandung perintah untuk bertakbir mengagungkan Allah ﷻ pada hari raya Idul Fitri setelah selesai melaksanakan puasa Ramadhan satu bulan penuh. Tidaklah seseorang mampu melaksanakannya kecuali karena hidayah dan pertolongan Allah ﷻ. “Dan agar kamu bersyukur, maksudnya hendaknya seorang hamba senantiasa bersyukur kepada Allah ﷻ atas hidayah tersebut serta bersyukur karena makan dan minum di siang hari kembali diizinkan.

Ayat 186

وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌؕ 

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya aku dekat…”

Ayat ini berkenaan dengan anjuran berdoa kepada Allah ﷻ. Keberadaan ayat ini di antara ayat-ayat tentang puasa menunjukkan bahwa memperbanyak doa adalah hal yang sangat utama untuk dilakukan ketika berpuasa. Dalam salah satu hadis sahih disebutkan bahwa diantara waktu dan keadaan diterimanya doa adalah ketika berpuasa. Diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah pertanyaan yang diajukan para sahabat kepada Nabi ﷺ, “apakah Allah dekat sehingga kami bermunajat (merendahkan suara) kepada-Nya, ataukah jauh sehingga kami harus menyeru (mengeraskan suara) kepada-Nya?” Nabi ﷺ saat itu diam tidak menjawab dan menunggu wahyu, maka turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa Allah ﷻ itu dekat sehingga berdoa kepada Allah ﷻ cukup dengan bermunajat, tidak perlu dengan menyeru mengeraskan suara. Kedekatan Allah ﷻ ini ditafsirkan langsung dengan potongan ayat selanjutnya,

اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ

 “Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu…”

Allah ﷻ menjelaskan sendiri maksud dari kedekatan-Nya dengan para hamba-Nya dengan berfirman, “Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaKu”. Maksudnya, kedekatan Allah ﷻ adalah dengan selalu mendengar doa-doa para hamba-Nya dan Ia tidak akan pernah mengecewakan para hamba yang berdoa kepada-Nya dengan senantiasa menjawab doa-doa tersebut, selama doa tersebut tidak mengandung dosa, permusuhan, dan kezaliman. Adapun Dzat Allah ﷻ sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur`an dan hadis sahih adalah tinggi di atas Arsy, dan Arsy berada di atas langit yang ketujuh. Bahkan diantara nama yang dimiliki Allah ﷻ adalah Al-‘Aliy, yang berarti Maha Tinggi. Sifat ketinggian Allah ﷻ ini tidak bertentangan dengan kedekatan-Nya dengan para hamba karena dengan ketinggian-Nya, Allah ﷻ dekat dengan para hamba-Nya dengan senantiasa menjawab doa-doa mereka.

فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ‏ ١٨٦

“…Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapatkan petunjuk.”

Potongan ayat ini memberi syarat yang perlu dipenuhi jika seorang hamba ingin doanya dikabulkan, yaitu “Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka mendapatkan petunjuk”. Maksud dari “memenuhi perintah-Ku” adalah dengan menjalankan perintah Allah ﷻ dan menjauhi larangan-Nya. Adapun maksud dari “dan beriman kepada-Ku” adalah beriman dengan keesaan dan ketauhidan Allah ﷻ dan meyakini dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah ﷻ akan mengabulkan semua doa yang ia panjatkan. Diantara tanda dan bentuk keyakinan seorang hamba adalah ia memperbanyak doa dan selalu mengulang-ulang doa. Seorang hamba tidak boleh merasa bosan karena merasa doanya tidak kunjung dikabulkan sehingga ia tidak lagi berdoa. Hendaknya ia terus berdoa, berbaik sangka kepada Allah ﷻ, dan yakin bahwa doanya akan dikabulkan, dengan serta memperbanyak melakukan sebab-sebab yang dapat menjadikan doa terkabul serta menghindari sebab-sebab yang dapat menghalangi terkabulnya doa. Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa ketaatan adalah penyebab dikabulkannya doa sedangkan maksiat adalah penghalangnya.

Berdoa adalah amalan yang sangat ringan dan selalu menguntungkan. Bagaimana tidak, selain mendapat pahala yang besar karena berdoa adalah diantara ibadah yang utama, seorang hamba akan mendapatkan apa yang ia minta dalam doanya, selama syarat terpenuhi, tidak ada penghalang, dan tidak mengandung unsur dosa dan kezaliman. Dalam sebuah hadis sahih dijelaskan bahwa Allah ﷻ menjawab doa hamba dengan satu dari tiga cara; diberikan apa yang diminta di dunia (baik sesuai dengan yang diminta atau diganti dengan yang lebih baik), disimpan untuk mendapatkan kebaikan dan ganjaran yang besar di akhirat, atau diganti dengan diselamatkan dari suatu bahaya/ musibah yang semestinya ditakdirkan menimpa seorang hamba di dunia. Namun janganlah seorang hamba hanya berdoa untuk kebaikan dan keperluan duniawi saja, karena justru kebaikan di akhirat jauh lebih penting. Diantara doa yang paling utama untuk dipanjatkan di bulan Ramadhan adalah doa memohon ampunan (istigfar) dan taubat dari segala dosa, baik yang kecil maupun besar, serta doa mengharap surga dan dilindungi dari siksa neraka.

Faidah: sungguh aneh pendapat yang mengatakan bahwa kita tidak perlu memperbanyak doa karena Allah ﷻ Maha Mengetahui apa yang kita inginkan, sedangkan sikap terlalu banyak berdoa justru menunjukkan bahwa kita tidak yakin dengan Allah ﷻ. Pendapat ini sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan dan dicontohkan Nabi ﷺ. Meskipun benar bahwa Allah ﷻ Maha Mengetahui apa yang kita inginkan, namun Allah ﷻ sendiri yang memerintahkan hamba-Nya melalui firman-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya untuk memperbanyak berdoa. Nabi ﷺ adalah orang yang paling bertakwa dan paling mengetahui bahwa Allah ﷺ Maha Mengetahui. Meski demikian, Nabi ﷺ tetap sangat banyak berdoa kepada Allah ﷻ dan mengajarkan umatnya berbagai macam doa. Berdoa adalah puncak penghambaan yang menunjukkan ketergantungan seseorang kepada yang diminta. Allah ﷻ tidak seperti raja-raja yang mungkin merasa bosan dan murka ketika rakyat atau budaknya terlalu banyak meminta, semakin banyak Allah ﷻ diminta oleh hamba, Ia malah semakin mencintai hamba tersebut.

Ayat 187

اُحِلَّ لَـکُمۡ لَيۡلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآٮِٕكُمۡ​ؕ هُنَّ لِبَاسٌ لَّـكُمۡ وَاَنۡـتُمۡ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ؕ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّکُمۡ كُنۡتُمۡ تَخۡتَانُوۡنَ اَنۡفُسَکُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنۡكُمۡۚ فَالۡـــٰٔنَ بَاشِرُوۡهُنَّ وَابۡتَغُوۡا مَا کَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمۡ​ؕ وَكُلُوۡا وَاشۡرَبُوۡا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الۡخَـيۡطُ الۡاَبۡيَضُ مِنَ الۡخَـيۡطِ الۡاَسۡوَدِ مِنَ الۡفَجۡرِ​ؕ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيۡلِ​ۚ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa untuk bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu berkhianat terhadap dirimu sendiri (tidak dapat menahan nafsu), oleh karena itu Allah mengampuni kamu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar (waktu subuh). Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam…”

Telah dijelaskan pada ayat 183 bahwa di masa permulaan Islam, tata cara puasa yang disyariatkan atas Nabi dan para sahabat adalah seperti puasa ahli kitab, yaitu apabila telah datang waktu magrib, mereka hanya diperbolehkan makan dan minum serta berhubungan suami istri sampai waktu isya saja. Jika telah masuk waktu isya atau mereka tertidur sebelum itu, maka diharamkan atas mereka makan dan minum serta berhubungan suami istri hingga waktu magrib berikutnya. Jika diukur dengan jumlah jam, diperkirakan durasi puasa yang disyariatkan di awal Islam sekitar 23 jam, sedangkan durasi berbuka hanya sekitar 1 jam. Ini tentu tidak mudah, apalagi ditambah dengan turunnya ayat 185 yang mewajibkan puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dikisahkan bahwa ada seorang sahabat bernama Qais, setelah ia bekerja keras di siang hari dalam keadaan berpuasa, ia pulang ke rumah di waktu magrib. Namun ia mendapati di rumahnya tidak ada makanan untuk berbuka, maka istrinya pergi untuk mencarikan makan untuknya. Ketika istrinya pulang, ia mendapati Qais telah tertidur karena kelelahan sehingga Qais tidak bisa makan dan minum sampai waktu magrib berikutnya. Maka keesokan harinya di siang hari ia jatuh pingsan.

Dahulu diantara para sahabat ada yang tidak berhubungan suami istri sepanjang bulan Ramadhan. Namun diantara mereka ada juga yang merasa kesulitan menahan syahwat terhadap istri mereka sehingga mereka “berkhianat terhadap diri sendiri” dan melakukan hubungan suami istri setelah waktu isya di bulan Ramadhan. Ada juga yang makan dan minum setelah waktu isya, seperti yang dialami Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ia datang kepada Rasulullah ﷺ mengadukan hal ini. Maka kemudian turunlah ayat,“dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa untuk bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”, yang maksudnya membolehkan berhubungan suami istri pada malam hari bulan Ramadhan, karena Allah telah menjadikan istri sebagai pakaian bagi suami yang padanya terdapat ketenangan. Allah ﷻ mengabarkan bahwa “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsu”, yaitu melakukan kesalahan dengan makan dan minum serta berhubungan suami istri setelah isya. “Oleh karena itu Allah  mengampuni kamu dan memaafkan kamu,” yaitu memaafkan kesalahan yang telah lalu tersebut.

Selanjutnya, Allah ﷻ menetapkan “Maka sekarang campurilah mereka (istri kamu) dan ikutilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam” Ayat ini mengandung kabar gembira bagi Nabi dan para sahabat dan keringanan yang sangat besar bagi mereka yang menjadikan ibadah puasa jauh lebih mudah untuk dilakukan dari sebelumnya. Dengan turunnya ayat ini, kaum muslimin diperbolehkan makan, minum, dan berhubungan suami istri di seluruh malam mulai dari waktu magrib hingga waktu saat “jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam.” Saat diturunkan, ayat ini turun secara utuh dalam satu wahyu. kelanjutan dari ayat ini belum diturunkan. Maka sebagian sahabat memahami ayat ini sebagaimana redaksinya. Mereka menyiapkan benang putih dan benang hitam. Di pagi hari, mereka mengeluarkan kedua benang tersebut. Jika mereka masih belum bisa membedakan antara benang putih dan benang hitam, mereka akan lanjut makan dan minum. Mereka baru berhenti makan dan minum setelah mampu membedakan antara kedua benang itu. Hal ini menyebabkan banyak para sahabat yang terus makan dan minum hingga matahari terbit. Maka Allah ﷻ menjelaskan bahwa yang dimaksud benang putih adalah terangnya siang, sedangkan benang hitam adalah gelapnya malam, dan waktu pembeda antara siang dan malam adalah “yaitu fajar” atau waktu subuh.

“Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam”, maksudnya, kerjakanlah puasa dari waktu fajar hingga masuk waktu permulaan malam, yaitu waktu magrib. Sejak ayat ini turun, durasi puasa menjadi jauh lebih singkat, yaitu mulai dari waktu subuh hingga waktu magrib. Bolehnya makan dan minum sejak waktu magrib hingga waktu subuh juga mengandung isyarat disyariatkannya makan sahur dan disunahkan mengakhirkannya hingga mendekati waktu subuh, serta disunahkan untuk bersegera dalam berbuka puasa. Ini adalah kemudahan yang besar dari Allah ﷻ dan merupakan tahapan ketiga dan terakhir dari syariat puasa yang berlaku hingga saat ini diamalkan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. 

وَلَا تُبَاشِرُوۡهُنَّ وَاَنۡـتُمۡ عٰكِفُوۡنَ فِى الۡمَسٰجِدِؕ 

“…dan janganlah kamu mencampuri mereka sedangkan kamu ber-I’tikaf dalam masjid…”

Potongan ayat ini berkenaan dengan syariat itikaf. “Dan janganlah kamu mencampuri mereka sedang kamu beritikaf dalam masjid”, maksudnya jika seseorang sudah berniat itikaf, baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan, maka ia tidak boleh berhubungan suami istri dan segala hal yang menjurus ke arahnya, hingga ia menyelesaikan itikafnya. Ketika seseorang telah berniat itikaf, maka meskipun ada kalanya ia pulang ke rumah di malam hari untuk satu keperluan, ia tidak diperbolehkan mencium dan memeluk istri, apalagi hingga menyetubuhinya, hingga ia menyelesaikan itikafnya. Penyebutan itikaf sesudah permasalahan puasa Ramadhan mengandung faedah dan anjuran untuk beritikaf di bulan Ramadhan, terutama di akhir bulan Ramadhan, yaitu di 10 hari terakhir. Nabi selalu beritikaf di 10 hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah ﷻ mewafatkannya. Potongan ayat ini juga mengisyaratkan bahwa itikaf hanya bisa dilakukan di Masjid yang ditegakkan salat 5 waktu dan salat Jumat agar seseorang tidak perlu keluar dari tempat itikaf untuk salat Jumat.

تِلۡكَ حُدُوۡدُ اللّٰهِ فَلَا تَقۡرَبُوۡهَا ؕ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُوۡنَ‏ ١٨٧

Itulah batasan-batasan Allah maka janganlah kalian mendekatinya, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

Maksudnya adalah bahwa seluruh ketentuan yang berkaitan dengan puasa Ramadhan beserta hukum-hukumnya, apa yang boleh dan apa yang haram, semua itu telah menjadi batasan-batasan yang Allah ﷻ tetapkan. Kaum muslimin wajib menaatinya dan dilarang mendekatinya, yaitu melampaui batas terhadapnya dengan tidak mematuhi perintah Allah ﷻ, melanggar larangan-Nya, atau menambah atau mengurangi dari apa yang telah Allah ﷻ tetapkan. “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”, maksudnya ayat ini mengandung hikmah bahwa tujuan Allah ﷻ menerangkan ketetapan syariat melalui lisan Nabi-Nya ﷺ kepada manusia adalah agar mereka bertakwa. Ujung ayat ini senada dengan ujung ayat 183 yang mempertegas bahwa rangkaian ibadah di bulan Ramadhan, baik di siang maupun malam hari, seluruhnya bertujuan untuk meraih ketakwaan kepada Allah ﷻ.

Demikianlah tafsir ayat-ayat puasa Ramadhan, semoga kita semua dapat mengambil faedah darinya. Segala yang benar datang dari Allah ﷻ sedangkan yang salah datang dari penulis yang memang tempatnya kesalahan. Hanya kepada Allah ﷻ kita memohon taufik dan hidayah. Semoga kita dipertemukan dengan bulan Ramadhan tahun ini dan dapat memaksimalkan ibadah di dalamnya dengan penuh semangat.

Penulis: Muzakkiy Putra (https://quantumresearch.id/people/muzakkiy-akhir.html)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *