Ali bin Abi Thalib, Van Garut?

Pernah lihat anak-anak usia SMP foto-foto dengan latar Menara Eiffel, Jembatan London, atau Patung Liberty? Apa yang terpikir di kepala Anda? Ternyata, anak-anak ini punya kemampuan edit foto sekelas “Kartu Prakerja”. Tentu logika kita menyangsikan kemampuan mereka pelesir jauh-jauh kesana. Padahal mungkin saja benar karena sudah ada pesawat.

Apa kesanmu jika dibilang ada sahabat Nabi yang pernah pelesir ke Aceh, bahkan ke Garut? Ya mungkin saja, mungkin ada sahabat-sahabat nabi yang kita tidak tahu namanya sudah melanglang buana sejauh ribuan kilometer. Pakai apa? Mungkin karpet terbang, pintu Doraemon, atau yang masuk akal pakai kapal laut.

Bagaimana jika saya bilang Ali bin Abi Thalib sudah pernah ke Garut? Salman al-Farisi sudah sampai Aceh? Cerita seperti ini sudah tersebar ke ribuan media sosial, mulai dari FB, WA, IG, bahkan media seperti eramuslim.

Tahukah Anda bedanya masa prasejarah dengan masa sejarah? Ilmu sejarah barat menyatakan bahwa zaman prasejarah adalah zaman belum ditemukannya tulisan. Zaman tersebut bisa berbeda-beda untuk tiap wilayah. Ada wilayah-wilayah tertentu yang sudah banyak tulisan sejak ribuan tahun sebelum masehi (SM), seperti “peradaban Mesir” dan “peradaban Cina”, menurut mereka. Ada yang mulai masuk zaman sejarahnya agak terlambat, seperti Indonesia. Catatan-catatan tulisan Indonesia itu baru mulai agak banyak mulai abad 10 M dan setelahnya. Ada kitab Paraton (abad 16 M), Negara Kertagama (abad 14 M), lalu kitab Taj Salatin (abad 16 M), Hikayat Raja-Raja Pasai (abad 16 M), dan lain-lain.

Sejarah Islam tidak mengenal pembagian seperti itu, karena jika dipakai maka tidak ada sejarah nabi-nabi terdahulu, sejak Adam sampai Isa alaihi salam. Sejarah Nabi-nabi tidak ditulis berdasarkan kumpulan dari artefak-artefak dan pahatan. Sejarah para Nabi ditulis berdasarkan wahyu, yang sayangnya sejarawan barat tidak menganggap itu sebagai “rujukan sejarah”. Tetapi, itu urusan mereka.

Kalau kita membandingkan masa 3 abad pertama Islam dengan sejarah belahan negeri lain di dunia, sangat berbeda dari sisi keilmuan dan sejarah. Gara-gara “Iqra bismi rabbikalladzi khalaq”, serentak orang Islam “terpaksa” harus bisa menulis. Mau berhutang, wajib ditulis. Mau belajar mengaji, harus menulis. Mau mengajar, harus juga menulis. Pada 3 abad pertama sejarah Islam, lahir ilmuwan-ilmuwan hebat dengan karya tulisnya yang berjilid-jilid tebalnya, bisa sepuluh kali tebal disertasi doktor. Jika Anda bandingkan dengan skripsi Anda -yang umumnya dari bab 1 pendahuluan, sampai bab 3 metodologi melihat skripsi kakak kelas-, maka karya tulis mereka bisa puluhan kali lipat tebalnya.

“Kegilaan” mereka menulis ilmu menjadi topik tersendiri di kalangan barat. Bagaimana mungkin manusia bisa menulis sebanyak itu? Sampai ada seorang profesor di UK meneliti dengan software buatannya berapa kata yang sudah ditulis Imam Ath-Thabari (abad 4H/10M) dari sejumlah buku-bukunya yang masih bisa didapat zaman ini. Totalnya 10 juta kata! Anda butuh 100x menulis disertasi doktor supaya bisa setara tebalnya dengan karya Imam Ath-Thabari, imamnya ilmu sejarah dan tafsir.

Kehebatan Imam Ath-Thabari, menurut software tersebut, cuma bisa “didekati” oleh karya-karya Imam Adz Dzahabi (abad 8H/14M), yang juga Imam ahli sejarah dan tafsir. Saya pernah pakai software tersebut, dan memang menakjubkan.

Lalu apa yang terjadi di Eropa pada zaman Imam Ath-Thabari? Dark Ages, zaman kegelapan! Orang masih percaya dengan takhayul, dukun, astrologi, dan lain-lain. Charlemagne, raja romawi abad 2M, saat itu baru belajar mengeja namanya. Sedangkan pada saat yang sama, negara tetangganya di kota Baghdad, yaitu ibukotanya negeri khalifah Harun Al-Rasyid, punya perpustakaan terbesar di dunia saat itu. Isinya lebih dari 100 ribu buku.

Zaman itu, orang-orang sangat mengidam-idamkan bisa kerja di Baitul Hikmah. Bisa kerja disana mungkin seperti sekarang lulus jadi PNS, atau seperti diterima masuk kerja di Microsoft. Ribuan orang bekerja di sana tiap hari menjadi penyalin buku-buku ilmiah. Karya-karya profesor besar zaman itu (dalam bahasa kita, sebutannya Imam) disalin berulang-ulang. Misal karya imam Malik, imam Auza’i, Imam Abu Yusuf, dan lain-lain. Buku-buku disana mencakup mulai dari buku-buku sastra, sejarah, tafsir, hadits, sampai teknologi. Belum lagi mereka menerjemahkan juga karya-karya dari ilmuwan Yunani dan ilmuwan negeri-negeri non Arab. Zaman itu pula lahir profesor bidang matematika, Al Khawarizmi. Lembaga-lembaga riset juga banyak, sudah seperti NASA sekarang.

Di negeri Anda, apa yang terjadi? Boro-boro belajar mengeja abjad, masyarakat saat itu belum ada hasrat kepada tulisan. Mungkin isinya kebanyakan tukang batu, maka jadilah Candi Borobudur, dan candi-candi lainnya. Tidak bisa menulis, sedikit pengetahuan. Kelamnya dunia ketika itu.

———————————————————————————
Dengan besarnya minat membaca dan menulis umat Islam awal 3 abad pertama, kita tidak usah heran jika riwayat hidup Nabi saw dan para sahabatnya bisa tercatat detail oleh mereka. Menurut perhitungan ulama hadis, jumlah total hadis Nabi yang tanpa perulangan itu sekitar 25 ribu hadis. Dengan rentang dakwahnya sekitar 23 tahun, maka jika dibagi rata, gerak-gerik dan ucapan nabi ada kira-kira 1000 buah yang tercatat per tahun. Jika setahun 360 hari, berarti rata-rata ada 3 hadis Nabi diriwayatkan para sahabatnya tiap hari, detail sekali.

Sekarang anda cukup baca saja “versi ringkas” dari buku sirah nabawiyah yang tebal itu. Setidaknya lebih ringan daripada membaca 25 ribu hadits. Pun demikian dengan riwayat hidup para sahabat Nabi. Kisah Umar bin Khattab ra saja habis 30 episode untuk Anda tonton selama bulan Ramadan. Padahal itu versi ringkasnya.

Awalnya, keterangan sejarah hidup Nabi itu terpencar-pencar di kalangan ilmuwan. Sampai muncul Imam Ibnu Ishaq (abad 2 H/8 M) menggabungkan dan mengompilasikannya secara ringkas, lalu diberi bab-bab. Jadilah dia Sirah Ibnu Ishaq. Lalu disusul Imam Al Waqidi (abad 3H/9M) menyusun AlMaghazi (3 jilid), Imam Tirmidzi (2H) dengan kitab Syamail Muhammadiyah, dst.

Lalu sejarah para Nabi sampai para sahabat, dikompilasi oleh Imam Thabari sebanyak 11 jilid, yang tebalnya seperti menjejerkan Yellow Pages sebanyak 11 jilid. Lalu muncul Imam Adz Dzahabi menulis sejarah umat Islam, mulai zaman Nabi sampai zaman beliau, setebal 52 jilid! Ruang tamu Anda mungkin tidak cukup untuk menampung buku-buku ini.

Jika kita bandingkan kemajuan peradaban mereka dengan peradaban negara sekitar, tentu seperti langit dan bumi. Yang ingin kita bahas di sini, mungkinkah mereka semua para imam sejarah itu terluput dari pengetahuan tentang sampainya Ali bin Abi Thalib dan kawan-kawan ke Garut? Logika kita menyatakan mustahil!  

Semua rekaman hidup para sahabat terkenal sudah tercatat detail dibuku-buku sejarah sejak abad pertama Islam. Maka logika kita pasti menolak jika tiba-tiba 1400 tahun kemudian ada tokoh agama, apa pun titelnya, mengatakan jika ada catatan hidup para sahabat yang tercecer dan baru ditemukan sekarang. Marilah kita bangun mindset kritis dan framework berpikir dari sini.

Saya kutip satu pernyataan viral itu sebagai berikut:

“Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia, tahun 625 Masehi. Perjalanan dakwahnya dilanjutkan ke dari Indonesia ke kawasan Nusantara, melalui: Timur Leste, Brunai Darussalam, Sulu, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Kampuchea. (Sumber: H.Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, Bulan Bintang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39)”

Ya ampun, 625 Masehi itu kan tahun 3 Hijriah! Halusinasi mereka belum selesai, ditambah lagi mereka bilang:

“Abdullah bin Mas’ud, berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay Archipelago)”.

Lalu lanjut, katanya Salman Al-Farisi sudah sampai di Perlak, Aceh, pada tahun 4 H. Lalu Abu Bakar sudah sampai ke Syria, dan Umar ke Turki.

Sekiranya kita mau buka buku sirah nabawiyah, kita tahu bahwa dari tahun 2 Hijriah saja isi kehidupan para sahabat Nabi banyak dilalui di medan perang, dimulai dari perang Badar. Total menurut hitungan, sampai 27 kali perang selama Rasul hidup. Badai perang itu baru berhenti ketika Fathu Mekkah, pada 9 H. Lalu bagaimana ceritanya mereka sahabat yang juga menjadi jenderal setiap perang Nabi, dapat pamit pelesiran jauh meninggalkan medan perang? Bukankah orang musyrik dan munafik saja masih banyak disekitar mereka? Afalaa ta’qilun?

Baiklah, mungkin saja hanya tanggal yang keliru. Bisa saja kejadiannya setelah Nabi saw tiada. Tapi lagi-lagi para sejarawan selalu mencatat kehidupan mereka dengan teliti. Bagaimana caranya Abu Bakar bisa ke Syria? Padahal beliau cuma berkuasa cukup pendek, 2 tahun saja. Itu pun selalu berada di Madinah, tidak pernah keluar-keluar.

Mungkin saja mereka ke Indonesia ketika era Umar bin Khattab ra. Beliau kan memerintah selama 20 tahun. Apakah bisa? Lagi-lagi sejarah mencatat bahwa pada era Umar bin Khattab ra, para sahabat itu bertahun-tahun disibukkan membuka wilayah di sekitar mereka, bertempur dalam sejumlah peperangan. Mulai dari Mesir, Iraq, Syiria, sampai akhirnya Palestina. Jika tugas perangnya libur, mereka terkena tugas menjadi gubernur, atau menjadi ulama di daerah yang baru masuk Islam.

Baiklah, anggap saja mungkin mereka sempat ke Indonesia. Pakai apa? Karpet terbang? Kapal laut kali ya. Engkong haji ane saja, naik haji pakai kapal tahun 60-an, butuh setahun bolak-balik. Padahal kapalnya pakai mesin. Bagaimana kapal layar? Mau sampai kapan?

Naik kapal zaman dahulu jangan dibayangkan seperti sekarang. Mereka harus memperhitungkan faktor angin. Jika tidak ada angin, tidak akan berangkat. Jadi para navigator sudah punya tabel angin, kapan kiranya mereka bisa melaut. Jika ada angin muson berhembus searah tujuan kapal, tarik jangkar lah mereka. Kadang angin yang ditunggu itu baru berapa bulan datang lagi.

Itu pun mereka tidak kuat berlayar jauh-jauh tanpa bersandar tiap jarak tertentu. Seperti kita saja jika sudah lewat sekian puluh kilometer maka perlu singgah dahulu ke pom bensin untuk isi bahan bakar. Zaman dulu pun pelaut harus hafal lokasi bandar-bandar untuk bersandar dan belanja harian. Tidak mungkin kan Anda terus-terusan melaut makan kepiting dan ikan asin saja? Tidak butuh sambel ulek?

Kira-kira berapa tahun Ali bin Abi Thalib bisa sampai ke Garut yang jaraknya ribuan kilometer dari pusat Islam?

Tentu kita senang jika betul Islam itu sudah menyebar luas sejak abad pertama Hijriah, sebagaimana banyak disebarkan orang-orang belakangan ini. Tapi kita adalah umat yang mementingkan fakta daripada klaim. Kita tidak suka pemalsuan data apapun tujuannya. Nabi saja tidak suka tukang bohong atas nama dirinya, juga atas nama sahabatnya.

Dan saya mohon maaf, data itu mungkin tidak ada. Dengan ketatnya ilmu sejarah Islam dan ilmu hadis, kita tidak punya data. Kita tidak perlu kecil hati juga,  tidaklah bermanfaat bangga dengan nenek moyang. Jika memang tuntunan seperti itu ada dalam Islam, tolong kabarkan ke saya.

Jika memang mereka para sahabat sampai ke Aceh, Palembang, Garut, lalu dimanakah bekasnya? Mana catatannya? Apakah mereka gagal dalam misinya? Kita tahu dari sejarah bahwa Mesir berhasil dibuka lewat tangan Amr bin Al-Ash. Lalu Iraq, lewat tangan Khalid bin Walid. Syam, lewat gabungan para sahabat, selat Gibraltar lewat jasa jendral Tariq bin Ziyad ra. Indonesia? Kata Hamka, lewat pahlawan tak dikenal.

Diantara catatan yang kita punya adalah catatan tertulis Marco Polo yang bertemu dengan pendiri kerajaan Samudra Pasai, Sultan Malik as-Saleh, pada abad 13 M. Lalu disusul dengan Ibnu Battuta. Beliau bertemu dengan Sultan kedua, Malik azh Zhahir, puluhan tahun kemudian.

Ibnu Battuta menulis bahwa sultan adalah seorang mujahid, aktif sebagai dai. Beliau mendatangi setiap negeri dan mengajak masyarakatnya, yang saat itu sangat terbelakang, untuk masuk Islam. Hukum-hukum Islam dijalankan dan para penganut animisme, yang tidak paham tata krama, suka merampok, suka membuat onar, ditangkapi.

Mungkin Anda tidak paham posisi strategis Samudra Pasai. Cobalah buka peta. Bayangkan hidup pada zaman 8 abad lalu, tanpa ada pesawat. Dari Arab, bagaimana cara Anda ke Garut tanpa lewat Aceh? Jangankan ke Garut, kita ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Mindanao di Filipina mestilah lewat Aceh. Aceh adalah hub, penghubung dunia internasional ke negeri di belakangnya.

Karena dia pusat pertemuan internasional, bukankah semua informasi dari timur ke barat dan sebaliknya, mestilah lewat Aceh? Orang Sulawesi mau ke India misalnya, maka mesti dia lempar sauh di bandar Aceh. Maka mestilah Sultan ini tahu segala keadaan negeri di sekitarnya.

Ketika Ibnu Battuta tanyakan tentang keadaan negeri-negeri sebelah timur  Samudra Pasai, Sultan pun menjawab, “Tidak ada dibalik negeri ini satu pun yang beragama Islam”. Tentunya Sultan tahu keadaan negeri dari Sabang sampai Merauke, seantero nusantara. Dimana saat itu ada kerajaan di Jawa bernama Majapahit.

Inilah yang ditulis Ibnu Battuta. Lalu beliau membuktikannya langsung, dimana selanjutnya beliau bertolak ke arah timur, dan sampai ke satu wilayah yang kemungkinan di Malaka atau Johor, atau ada yang mengklaim di Vietnam, dan Filipina pun turut mengklaim kedatangan Ibnu Battuta. Ketika sampai dinegeri itu ternyata, menurut beliau, rajanya penyembah batu, musyrik. Dia berlaku seperti Tuhan. Ada sayembara raja, yaitu siapa saja yang mau serahkan anggota keluarganya buat jadi sasaran tombak si raja sampai mati, maka keluarganya akan diberi hadiah.

Mengerikan! Itulah gambaran negeri tanpa hidayah. Bertolak belakang dengan keagungan Samudra Pasai tadi. Ibnu Battuta sampai bergidik melihat pemandangan orang tak berdosa ditombak demi menyenangkan hati raja.

Intinya, pernyataan Sultan diatas adalah pernyataan tertulis bahwa Islam dimulai dari Aceh. Jadi, lupakan soal spekulasi-spekulasi artefak- artefak konyol, karena orang zaman itu lebih tahu keadaan sejarah zamannya. Dalam ilmu sejarah, pernyataan tertulis itu lebih diutamakan ketimbang pecahan beling-beling artefak yang sifatnya spekulatif. Entah benar atau tidak.

Ada juga tulisan ceroboh karya Prof Azyumardi Azra, dalam buku “Jaringan Ulama Timur Tengah”, bahwa Islam masuk Indonesia sejak 7 M. Buktinya adalah surat menyurat Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada raja Sriwijaya. Beliau menulis terjemah isi surat itu dalam bukunya. Surat ini tercatat dalam kitab Aqdul Farid, karya Imam Ibnu Abdi Rabbihi abad 9 M. Tulisan ini bahkan disebarkan Republika.

Maka mari kita cek kitab tersebut, dan ketemu memang ada. Isinya kurang lebih:
“Dari Maha Raja Al-Sind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, dan istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi gaharu, kepada Muawiyyah…”

atau dalam tulisan lain,
“Dari Raja Di Raja…yang adalah keturunan seribu raja..kepada raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain selain Tuhan”

Kita tidak paham apa motifnya, tapi Profesor ini menerjemahkan “Sind” sebagai “Sriwijaya”. Jelas ini membikin girang orang-orang Palembang. Tapi jika peneliti bule dengar, tentu tertawa mereka. Sind kok bisa jadi Sriwijaya?

Sind adalah jelas-jelas wilayah India, atau sekarang menjadi bagian dari Pakistan. Surat-surat khalifah Umar bin Abdul Aziz ini juga sebetulnya saya temukan dalam kitab sejarah yang lebih awal sebelum Aqdul Farid. Tapi tak ada satu pun sejarawan pembaca yang sampai jauh memahami bahwa Sind adalah Sriwijaya. Semua keterangan ahli sejarah merujuk kepada India.

Dan isyarat itu pun jelas dalam konteks surat, “yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah”. India adalah negara seribu gajah. Bukan Sriwijaya!

Jika  satu bangsa jauh dari literasi, maka apapun informasi yang masuk ke mereka akan dianggap “sejarah”. Tapi Islam tidak dibangun dari hoax. Para sahabat pun tidak patut menjadi obyek cerita-cerita khayal. Sudah selesai urusan mereka dengan dunia. Jika kita tahu ada saudara kita tanpa sengaja menyebarkan halusinasi itu, marilah kita coba luruskan. Contohnya, bisa kita counter dengan menyebarkan tulisan ini.

Sebagai rujukan:
https://republika.co.id/berita/pg2qzk385/korespondensi-sriwijaya-dengan-khilafah-bani-umayyah

eramuslim.com/tahukah-anda/ali-bin-abi-thalib-r-a-pernah-ke-garut-dan-salman-al-farisi-ke-aceh.htm

Penulis:

Zico Pratama Putra, mahasiswa S3 Queen Mary University of London, anggota KIPMI.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *