PERANG TERHADAP PLAGIARISME SEBAGAI BENTUK DUKUNGAN TERHADAP PROGRAM REVOLUSI MENTAL PEMERINTAH: Plagiarisme Dalam Disertasi Doktoral Dr Abdul Azis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Bagian 5)
Catatan Terhadap Disertasi Doktor UIN Abdul Aziz (Bagian 5)
Referensi & Kutipan yang Tidak Kredibel
Referensi Tidak Bermutu
Abdul Aziz cukup banyak mengutip dari tulisan internet, seperti blog, Youtube atau kanal-kanal sosial media seperti Facebook. Untuk ranah ilmiah sekelas disertasi, kutipan dari sumber tersier seperti ini harus sangat dibatasi, karena sumber internet bukanlah rujukan yang didedikasikan untuk tujuan ilmiah. Penulis artikel internet pun perlu punya kualifikasi ilmiah supaya bobotnya bisa “diadu” ketika membandingkan satu paparan ilmiah. Pun demikian, penulis harus mampu menghadirkan diskusi dari literatur yang kredibel juga.
Permasalahannya, Abdul Aziz tidak membedakan bobot narasumbernya, apakah dari kalangan ilmiah, tokoh atau bahkan orang awam. Untuk sekelas disertasi, bahkan skripsi sarjana pun, tidaklah bisa diterima metode seperti ini.
Kutipan Tidak Kredibel
Kutipan yang tidak kredibel bisa dilihat di antaranya pada halaman 261 dari naskah disertasi, Abdul Aziz menuliskan sebagai berikut:
“Hal ini lantaran kalangan ulama tradisionalis-konservatif memandang bahwa perbudakan adalah bagian dari Islam. Maka, barang siapa menentang institusi perbudakan dalam sistem hukum Islam dianggap sebagai penentang Islam”.
Konsep perbudakan sudah banyak dikaji dalam literatur yang otoritatif, juga artikel ilmiah baik kalangan muslim atau non muslim. Pernyataan bahwa “barang siapa menentang institusi perbudakan dalam sistem hukum Islam dianggap sebagai penentang Islam” adalah kesimpulan penulis sendiri yang tidak dipegang kalangan ilmuwan dan periset. Jika memang ini konsep baku berdasarkan metodologi yang dipegang ulama Islam, maka wajib diberikan referensinya, yang sayangnya lagi tidak berhasil dibawakan penulis.
Penulis sepertinya tidak memiliki kemampuan memilih mana rujukan ilmiah yang memiliki bobot ilmiah, mana yang artikel, blog, dan lain-lain, seolah-olah semuanya bernilai tinggi dimata penulis. Kadang dia membawakan pandangan yang diklaim dari Ibnu Katsir, Ibnu Rusyd dan kadang membandingkan pula dengan pandangan netizen.
Thesis Tanpa Referensi
Bahkan Abdul Aziz pun melakukan sebuah thesis tanpa referensi. Dalam naskah disertasinya di halaman 177 dia mengatakan,
“Term sedemikian penting yang ditunjukkan dengan pengulangan sebanyak 15 kali dalam at-Tanzīl al-Ḥakim terabaikan begitu saja oleh sejarah hanya lantaran dominasi pandangan sebagian kalangan ulama tradisionalis-konservatif yang mengharamkan ijtihad”.
Pernyataan ini butuh rujukan, tapi tidak bisa dihadirkan penulis. Sehingga untuk ukuran disertasi, ini jelas semata pendapat subjektif penulis saja. Sebelumnya penulis telah memasukkan Imam Syafii, Ibnu Katsir, dan Ibnu Jarir sebagai ulama tradisionalis-konservatif, padahal kalangan ilmuwan mengetahui bahwa mereka adalah tokoh yang paling sering melakukan ijtihad. Premis Abdul Aziz ini tentu sangat subjektif dan serampangan, di samping tidak konsisten.
Penggunaan Gaya Penulisan yang Tidak Baku
Cara penulis menyajikan disertasinya lebih sesuai untuk genre artikel bebas, dimana penulis bisa bebas memainkan opini dan tidak harus terikat dengan tata bahasa baku akademik dan aturan penulisan referensi. Perhatikan contoh berikut, dimana penulis bahkan memasukkan ucapan dan perbuatan tokoh non-akademik, seperti pengusaha lokal, dan menyerang pribadinya secara subjektif.
Dalam naskah disertasinya halaman 270, Abdul Aziz mengatakan,
“Orang-orang tertentu tidak perlu mempermainkan hukum, terlebih mempertaruhkan keutuhan keluarga hanya untuk melampiaskan kegemarannya memburu perempuan, seperti pada kasus mempermainkan sistem iddah sebagaimana telah penulis singgung di sub bab di atas. Orang juga tidak perlu menyelenggarakan Poligami Award kalau hanya sekedar untuk melampiaskan hasrat seksualnya, sebagaimana pernah digelar oleh tokoh poligami Indonesia, Puspo Wardoyo. Dalam sebuah wawancara dengan Gatra, ia secara terang-terangan mengakui bahwa tujuannya berpoligami adalah untuk memenuhi kebutuhan hasrat seksualnya”.
**
Disusun oleh: tim KIPMI.
3 Comments