Keutamaan Bersalaman

Ketika bertemu dengan saudara seiman, baik yang sudah dekat ataupun baru dikenal, selain mengucapkan salam kepadanya, raihlah tangannya untuk bersalaman.

Keutamaan bersalaman

Dalam hadis dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ

“Jika seorang mukmin bertemu dengan mukmin yang lain, ia memberi salam padanya, lalu meraih tangannya untuk bersalaman, maka berguguranlah dosa-dosanya sebagaimana gugurnya daun dari pohon” (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2/59).

Jangan lewatkan kesempatan tersebut karena dengan bersalaman dosa-dosa akan berguguran sebagaimana gugurnya daun. Dalam hadis lain dari Al Barra’ bin ‘Azin radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu lalu berjabat tangan, melainkan dosa keduanya sudah diampuni sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Dawud no. 5.212 dan at-Tirmidzi no. 2.727, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

Tidak tepat sikap orang yang hanya bersalaman dengan orang yang dikenal saja atau yang akrab saja. Karena hadis-hadis di atas menyebutkan keutamaan bersalaman antar sesama muslim secara umum, baik yang dikenal maupun baru kenal atau tidak kenal sebelumnya. Tidak tepat pula orang yang menunggu disodori tangan dahulu, baru ia bersalaman. Hendaknya setiap kita bersemangat untuk menjadi yang pertama kali menyodorkan tangan untuk bersalaman. Mengapa? Karena demikian yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Sebagaimana dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

إنَّه لَمَّا أقْبَلَ أهلُ اليَمَنِ، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: قد جاءَكم أهْلُ اليَمَنِ، هُم أرَقُّ مِنكم قُلوبًا. قال أنسٌ: وهُم أوَّلُ مَن جاء بالمُصافَحةِ

“Ketika datang rombongan penduduk Yaman, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang hatinya lebih halus dari kalian’. Anas bin Malik menambahkan: ‘Dan mereka juga orang-orang yang biasanya pertama kali menyodorkan tangan untuk bersalaman’” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, no.967; Ahmad [3/212]).

Bersalaman dengan wanita non-mahram

Namun perlu menjadi catatan, walau bersalaman dengan sesama muslim itu dianjurkan, namun tidak diperkenankan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram Anda, walaupun ia termasuk kerabat. Dari Ma’qal bin Yasar radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda:

لأن يُطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد، خيرٌ له من أن يمس امرأةً لا تحل له

“Andai kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 226).

Para ulama 4 mazhab pun menyatakan haramnya berjabat tangan dengan wanita non-mahram yang sudah dewasa. Imam An Nawawi berkata dalam kitabnya Al-Majmu’:

وقد قال أصحابنا: كل من حرم النظر إليه حرم مسه. وقد يحل النظر مع تحريم المس، فإنه يحل النظر إلى الأجنبية في البيع والشراء والأخذ والعطاء ونحوها. ولا يجوز مسها في شيء من ذلك.

“Ulama mazhab kami (mazhab Syafi’i) berkata bahwa setiap orang yang diharamkan memandangnya maka diharamkan menyentuhnya wanita. Namun dihalalkan untuk memandang wanita yang bukan mahramnya jika ia berniat untuk menikahinya, atau dalam sedang dalam keadaan jual beli, atau ketika ingin mengambil atau memberi sesuatu ataupun semisal dengannya. Namun tidak boleh untuk menyentuh wanita walaupun dalam keadaan demikian” (Al Majmu’, 4/515).

Kepada wanita yang bukan mahram, kita tetap bisa beramah-tamah dengan sekedar anggukan, senyuman atau isyarat lain yang bisa menggantikan fungsi jabat tangan menurut adat setempat.

Bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua

Para ulama berbeda pendapat mengenai bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua renta, semisal wanita bersalaman dengan lelaki yang sudah tua renta atau lelaki bersalaman dengan wanita yang sudah tua renta.

Sebagian ulama melarang secara mutlak bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram, baik masih muda ataupun sudah tua renta. Berdasarkan keumuman hadis-hadis yang melarang bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Lelaki bersalaman dengan wanita hukumnya tidak diperbolehkan, baik ia tua renta atau pun masih muda. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

إني لا أصافح النساء

“Sungguh aku tidak bersalaman dengan wanita”.

Ketika datang kepada beliau para wanita untuk berbai’at dan mereka menyodorkan tangan untuk bersalaman, beliau bersabda: ‘sungguh aku tidak bersalaman dengan wanita‘. Dan ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:

والله ما مست يد رسول الله يد امرأة قط، ما كان يبايعهن إلا بالكلام

“Demi Allah, tangan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, ketika membai’at beliau membai’at dengan perkataan saja” (HR. Muslim no.1866).

Yang dimaksud Aisyah di sini adalah, kepada wanita yang bukan mahram Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau tidak bersalaman. Adapun dengan wanita yang merupakan mahramnya, maka tidak mengapa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan Fathimah, dan bersalaman dengan para mahramnya.

Dan tidak masalah seorang lelaki bersalaman dengan istrinya, saudarinya, bibinya, dan seluruh wanita yang merupakan mahramnya. Yang terlarang adalah bersalaman dengan wanita ajnabiyah (bukan mahram) semisal istri dari saudaranya, atau saudari dari istrinya, dan para wanita selainnya. Ini tidak diperbolehkan. Tidak diperbolehkan kepada wanita tua renta, ataupun wanita muda, ini pendapat yang tepat. Baik dilakukan dengan penghalang, walaupun ia memakai sesuatu di tangannya, maka hendaknya ia tidak bersalaman secara mutlak. Karena bersalaman dengan penghalang itu adalah wasilah kepada bersalaman lain yang tanpa penghalang” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/noor/9339).

Sebagian ulama membolehkan bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua renta yang sudah tidak memiliki syahwat (menopause), dengan syarat aman dari fitnah. Karena illah larangan bersalaman adalah dikhawatirkan terjadi fitnah, sedangkan ketika sudah menopause maka kekhawatiran tersebut tidak ada.

As Sarkhasi rahimahullah menjelaskan masalah ini, beliau mengatakan: “Jika wanita tersebut sudah tua renta dan sudah menopause maka tidak mengapa bersalaman dengannya dan menyentuh tangannya. Sebagaimana diriwayatkan:

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَافِحُ الْعَجَائِزَ فِي الْبَيْعَةِ وَلَا يُصَافِحُ الشَّوَابَّ وَلَكِنْ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ فِي قَصْعَةِ مَاءٍ ثُمَّ تَضَعُ الْمَرْأَةُ يَدَهَا فِيهَا فَذَلِكَ بَيْعَتُهَا

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa bersalaman dengan wanita-wanita tua ketika membai’at, dan tidak bersalaman dengan wanita-wanita muda. Namun beliau meletakkan tangannya di mangkuk berisi air, lalu setelah itu para wanita meletakkan tangannya di mangkuk tersebut, demikianlah cara beliau membai’at wanita“.

Namun Aisyah radhiallahu’anha mengingkari hadis ini dengan mengatakan:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَسَّ امْرَأَةً أَجْنَبِيَّةً فَقَدْ أَعْظَمَ الْفِرْيَةَ عَلَيْهِ

“Barang siapa mengklaim bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyentuh wanita ajnabiyyah, itu adalah kedustaan yang besar atas beliau“.

Dan diriwayatkan juga bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu ketika menjadi khalifah beliau berkunjung ke sebagian kabilah yang tertindas, kemudian beliau bersalaman dengan wanita-wanita tua di sana. Dan juga Az Zubair radhiallahu’anhu ketika sakit di Mekkah, beliau menyewa seorang wanita tua untuk menjadi perawatnya, perawat tersebut biasa menyelimuti kaki beliau dan membersihkan kepala beliau.

Dan juga karena diharamkannya bersalaman itu illah-nya adalah kekhawatiran terjadi fitnah. Jika wanita sudah menopause maka kekhawatiran terjadi fitnah sudah tidak ada. Demikian juga lelaki yang sudah tua renta yang merasa aman dari fitnah syahwat, boleh baginya bersalaman dengan wanita. Namun jika ia tidak merasa aman dari fitnah syahwat maka tidak boleh bersalaman, karena ini mengantarkannya kepada fitnah” (Al Mabsuth, 10/154).

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,

إذا كان الأمر المقطوع في كونها عجوز لا تُشتهى ،ففي هذه الحالة لا مانع ، ولكن إذا كان الأمر يُحتمل أن تُشتهى ،فتعود قاعدة سدِّ الذّريعة ووجوب تطبيقها

“Jika dapat dipastikan wanita tersebut sudah renta dan menopause, maka dalam keadaan ini tidak mengapa (bersalaman). Namun jika masih diragukan dan belum bisa dipastikan, maka kembali pada kaidah sadd adz dzari’ah dan menerapkannya” (Al Hawi fi Fatawa Al Albani, 2/130).

Wallahu a’lam, kami lebih cenderung pada pendapat kedua yang membolehkan bersalaman dengan lawan jenis, jika dapat dipastikan ia sudah renta dan menopause, dengan syarat aman dari fitnah. Karena hal tersebut dilakukan sebagian sahabat Nabi. Dan illah larangan bersalaman dengan non mahram adalah dikhawatirkan terjadi fitnah, ini sangat jelas, sedangkan kaidah usul fikih mengatakan,

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

“Hukum berporos pada illah-nya, ada atau tidaknya illah berpengaruh pada hukum“.

Namun tentu saja tidak boleh bermudah-mudahan dalam masalah ini mengingat hadis-hadis larangan bersentuhan dengan lawan jenis sangat tegas dan berat ancamannya. Harus dipastikan aman dari fitnah dan jika masih bisa untuk menjaga diri untuk tidak bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua renta, itu lebih baik dan lebih utama.

Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab rahimahullah, seorang ulama tabi’in :

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: «قَدْ بَلَغْتُ ثَمَانِينَ سَنَةً وَمَا شَيْءَ أَخْوَفُ عِنْدِي مِنَ النِّسَاءِ» وَكَانَ بَصَرُهُ قَدْ ذَهَبَ

“Dari Sa’id bin Musayyab beliau bekata: “Umurku sudah 80 tahun, dan tidak ada yang aku khawatirkan bagi diriku selain fitnah wanita“, dan beliau mengatakan demikian ketika penglihatannya sudah hilang” (Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya, 2/166).

Suatu sikap wara’ yang patut dicontoh oleh para lelaki kaum Muslimin dan menjadi perhatian bagi para Muslimah.

Semoga Allah memberi taufik.

Yulian Purnama

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *