Apakah “Bahan Alami” selalu “Aman” untuk Kesehatan Manusia?

Sebagian orang beranggapan bahwa apapun yang berasal dari alam pasti aman dikonsumsi manusia. “Alami” selalu dikonotasikan dengan “bebas bahan kimia”, sehingga diklaim pasti aman dan bermanfaat untuk kesehatan manusia. Akibatnya, hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mempromosikan obat-obatan berbasis herbal dengan mengklaim bahwa produknya tersebut aman bagi manusia.

Dua contoh di bawah ini adalah sedikit bukti di antara sekian banyak bukti lainnya yang menunjukkan tidak benarnya hal tersebut.

Kerusakan Hati (Liver) Akibat Konsumsi Jamur

Jamur adalah salah satu “bahan alami” yang banyak terdapat di sekeliling kita. Banyak pula di antara kita yang suka mengkonsumsi jamur. Namun siapa sangka, jamur memiliki potensi mematikan?

Suatu ketika, dosen pembimbing S3 kami melakukan kunjungan kerja ke Cina. Saat beliau berkunjung ke sebuah rumah sakit di sana, beliau makan bersama teman-temannya di restoran. Lalu mereka pun mengabarkan bahwa di rumah sakit tersebut banyak ditemukan kasus acute liver injury (kerusakan liver akut) karena konsumsi jamur.

Sebetulnya hal ini tidaklah aneh. Di Cina, jamur menjadi tradisi turun-temurun sebagai sumber makanan dan obat-obatan. Karena itulah beliau memiliki ide untuk melakukan analisis dan kajian lebih mendalam terhadap kasus-kasus liver injury karena jamur di rumah sakit tersebut dalam 10 tahun terahir.

Hasilnya, tercatat 138 pasien yg masuk rumah sakit karena keracunan jamur, 35 (25.4%) di antaranya mengalami kerusakan liver dengan 7 kematian. Jumlah kasus sesungguhnya tentu lebih banyak karena ini hanya merupakan laporan dari satu rumah sakit saja. [1]

Kerusakan liver karena keracunan jamur sangat sulit untuk dideteksi. Selain itu, belum terdapat terapi spesifik untuk kasus-kasus tersebut. Jika kerusakan tersebut sangat parah, mungkin transplantasi (cangkok) hati menjadi satu-satunya alternatif untuk mengatasi kasus tersebut. [2]

Acute Toxic Encephalopathy karena Konsumsi Buah Leci

Muzaffarpur adalah sebuah kota tradisional penghasil leci terbesar di India. Sebutan lainnya adalah Lychee Kingdom. Di kota tersebut, wabah acute encephalopathy terjadi beberapa kali dan bertepatan dengan musim panen buah leci, yaitu pertengahan bulan Mei dan mencapai puncaknya di bulan Juni. Pasien yang terkena wabah akan mengalami kejang, penurunan kesadaran, rendahnya kadar gula (glukosa) dalam darah (hipoglikemia) dan berujung pada kematian.

Pada wabah yang terjadi tahun 2014, 122 orang meninggal dunia dan menjadi salah satu kasus luar biasa paling sensasional dalam sejarah medis negara itu. Tidak terdapat bukti bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri atau virus) tertentu, tidak pula disebabkan oleh keracunan pestisida atau bahan sejenis yang digunakan. Penyelidikan selanjutnya mengungkap hasil yang mengejutkan, ternyata penyebab wabah tersebut adalah buah leci itu sendiri.

Salah satu faktor risiko yang menjadi penyebab kematian pada kasus tersebut adalah memakan leci yang belum matang (atau busuk). Leci yang belum matang mengandung toksin (racun) hypoglycin A dan methylenecyclopropylglycine (MCPG). Zat tersebut menyebabkan hipoglikemia akut sekaligus gangguan metabolisme yang pada akhirnya menyebabkan wabah encephalopathy. [3, 4]

Contoh-contoh kasus di atas cukup menunjukkan bahwa tidak selamanya bahan alami itu selalu aman dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu waspada dan hati-hati. Meskipun berasal dari bahan-bahan alami, selalu ada potensi merugikan dan membahayakan kesehatan manusia jika dikonsumsi secara sembarangan atau tanpa aturan. Hal ini pun berlaku untuk model pengobatan herbal atau yang sejenis dengan itu.

Potensi manfaat tanaman obat harus diteliti untuk mengoptimalkan penggunaannya, dengan meminimalisir kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Inilah yang dikerjakan oleh para ilmuwan kedokteran sejak dahulu. Mereka meneliti kandungan zat aktif suatu tanaman dan meneliti kemungkinan efek sampingnya. Zat yang mengandung manfaat bisa jadi kemudian dimurnikan dan dipisahkan dari zat lain yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sehingga tanaman tersebut pada akhirnya dapat dimanfaatkan dengan baik sebagai obat.

***


Selesai disusun di siang hari, Rotterdam NL 4 Dzulhijjah 1438/27 Agustus 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim


Catatan kaki:
[1] Geng J et al. Mushroom poisoning: an overlooked cause of acute liver injury in China. Liver Int 2017; 37(3): 468-469.
[2] Karvellas CJ et al. Acute liver injury and acute liver failure from mushroom poisoning in North America. Liver Int 2016; 36(7): 1043-50.
[3] Shrivastava A et al. Association of acute toxic encephalopathy with litchi consumption in an outbreak in Muzaffarpur, India, 2014: a case-control study. Lancet Glob Health 2017; 5 (4): e458-e466.
[4] Terima kasih kami sampaikan kepada sahabat kami, dr. Eka Nugraha, yang telah menunjukkan artikel publikasi tentang hal ini.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *