Tujuan-tujuan Syar’i di Balik Kewajiban Zakat (bagian 1)
Islam telah menetapkan zakat sebagai kewajiban dan menjadikannya sebagai salah satu rukunnya, serta menetapkan kedudukan yang mulia dan derajat yang tinggi bagi zakat. Semua itu tidak lain karena dalam pelaksanaan dan penerapannya mengandung tujuan-tujuan syar’i (maqaashid syari’at)1 yang agung, serta memberikan kebaikan dunia dan akhirat yang besar bagi orang kaya dan orang miskin sekaligus bagi masyarakat. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah:
Pertama, mewujudkan ubudiyah kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menunaikan kewajibanNya.
Banyak dalil yang memerintahkan pelaksanaan kewajiban besar ini, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman di lebih dari satu ayat:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43).
Allah menjelaskan bahwa menunaikan zakat merupakan sifat orang-orang mukmin yang taat, sebagaimana Dia berfirman,
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18).
Seorang mukmin menghambakan diri kepada Allah dengan menjalankan perintahNya melalui pelaksanaan kewajiban zakat sesuai dengan kadarnya yang telah ditetapkan secara syar’i dan memberikannya kepada pos-pos yang juga ditetapkan secara syar’i.
Zakat bukan pajak harta, sebaliknya ia merupakan ketaatan dan kedekatan (kepada Allah) yang seorang hamba mukmin berharap pahala dan balasan besar di sisi Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 277).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (An-Nisa`: 162).
Kedua, mensyukuri nikmat Allah dengan menunaikan zakat harta yang telah Allah limpahkan sebagai karunia kepada seorang muslim. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Mensyukuri nikmat adalah kewajiban seorang muslim, dengannya kelanggengan nikmat dan pertumbuhannya bisa terwujud. Imam as-Subki2 berkata, “Di antara makna yang terkandung di dalam zakat adalah mensyukuri nikmat Allah Ta’ala. Ini berlaku umum pada seluruh taklief (pembebanan syariat) agama, baik yang berkaitan dengan harta maupun badan, karena Allah Ta’ala telah memberikan nikmat kepada manusia pada badan dan harta. Mereka wajib mensyukuri nikmat-nikmat tersebut, mensyukuri nikmat badan dan mensyukuri nikmat harta. Hanya saja terkadang kita mengetahui hal itu merupakan syukur nikmat badan atau merupakan syukur nikmat harta, dan terkadang kita bimbang padanya. Zakat termasuk ke dalam kategori ini.” 3
Membayar zakat adalah pengakuan terhadap kemurahan dan karunia nikmat Allah, mensyukurinya dan menggunakan nikmat tersebut dalam keridhaan dan ketaatan kepada Allah.
Ketiga, menyucikan pembayar zakat dari dosa-dosa, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At-Taubah: 103).
An-Nawawi4 berkata, “Sesungguhnya kewajiban membayar zakat dalam ayat berkaitan dengan hikmah pembersihan dari dosa-dosa.”5
Dalam sunnah terhadap hadits yang menegaskan makna di atas, sebagaimana dalam hadits Muadz bin Jabal bahwa Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئ ُالمَاءُ النَّارَ
“Sedekah itu memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” 6
Ayat di atas mengumpulkan banyak tujuan dan hikmah syar’i dalam kewajiban zakat dan hal itu dalam dua kata yang muhkam, “Dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” Di sini tampak sisi kemukjizatan al-Qur`an yang menghadirkan makna yang luas dengan kata yang sedikit.
Keempat, membersihkan muzakki dari sifat bakhil dan kikir.
Tentang hal ini al-Kaasaani7 berkata, “Sesungguhnya zakat membersihkan jiwa pembayarnya dari kotoran-kotoran dosa dan membersihkan akhlaknya dengan akhlak kedermawanan dan kemurahan hati. Juga membuang kekikiran dan kebakhilan, karena tabiat jiwa sangat menyukai harta benda. Zakat dapat membiasakan orang menjadi murah hati, melatih menunaikan amanat dan menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya. Semua itu terkandung dalam firman Allah Ta’ala,
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” 8
Kikir adalah penyakit yang dibenci dan tercela yang menimpa manusia. Sehingga menjadikan manusia berupaya untuk selalu ambisi memiliki, egois, cinta hidup didunia dan memperbanyak harta. Semua ini akan menghasilkan sikap monopoli terhadap semua kemanfaatan. Tentang hakikat ini Allah Ta’ala telah berfirman,
“Dan manusia itu sangat kikir.” (Al-Isra`: 100).
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (An-Nisa`: 128).
Sifat kikir ini merupakan sebab terbesar ketergantungan manusia kepada dunia dan berpaling dari akhirat. Sifat ini menjadi sebab kesengsaraan yang diucapkan oleh Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai doa atas para penghamba harta dan dunia, beliau bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِوَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الخَمِيْصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيْكَ فَلاَ اْنَتقَشَ
“Sengsara hamba dinar, sengsara hamba dirham, sengsara hamba khamishah, bila dia diberi maka dia rela bila tidak maka dia murka, sengsara dan tersungkurlah dia, bila dia tertusuk duri maka dia tidak akan mencabutnya.”9
Cinta dunia dan harta adalah salah satu sumber dosa dan kesalahan. Bila seseorang selamat darinya dan terlindungi dari sifat kikir maka dia berhak menjadi sukses, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) menyintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9).
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang kikir lagi bakhil,
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180).
Al-Fakhrurrazi10 berkata, “Kecintaan terhadap harta yang mendalam melalaikan jiwa dari kecintaan kepada Allah dan persiapan diri menghadapi kehidupan akhirat. Hikmah peletak syariat (Allah) menuntut dibebaninya pemilik harta agar mengeluarkan sebagian harta yang dipegangnya. Agar pengeluaran itu menjadi alat pemecah kecenderungan yang sangat kepada harta, penghalang dari berpalingnya jiwa kepada harta secara total dan peringatan bagi jiwa bahwa kebahagiaan manusia tidak tercapai dengan bersibuk ria mengumpulkan harta. Akan tetapi ia terwujud dengan menginfakkan harta untuk mencari ridha Allah Ta’ala. Kewajiban zakat adalah terapi tepat dan harus untuk menghilangkan cintaan kepada dunia dari hati. Allah Subhanahu mewajibkan zakat untuk hikmah mulia ini, inilah yang dimaksud oleh firmanNya
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” Yakni membersihkan dan mensucikan mereka dari sikap berlebih-lebihan dalam menuntut dunia.”11
(bersambung)
Tentang Penulis:
Ustadz Kholid Syamhudi adalah alumni Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. Pernah berkuliah
di UGM dan Pakistan, sekarang aktif mengajar dan berdakwah di Indonesia. http://klikuk.com/profil-
uk/
____
1 Maksud dari tujuan syar’i adalah makna-makna dan hikmah-hikmah serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam sesuatu yang disyariatkan oleh peletak syariat. Lihat Maqashid asy-Syari’ah al- Islamiyyah karya Thahir Asyur 2/51 dan Qawaid al-Wasail karya Mushthafa Karamatullah Makhdum hal. 34.
2 As-Subki adalah Taqiyuddin Ali bin Abdul Kafi bin Ali bin Tamam as-Subki asy-Syafi’i, seorang imam ahli fikih, lahir tahun 685 H, menulis beberapa buku di antaranya: al-Ibtihaj Syarh al-Minhaj, as-Sham ash-Shaib fi Qabdhi Dain al-Ghaib. Wafat tahun 756 H di Kairo dimakamkan di Bab an-Nashr. Lihat Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra 10/183 dan al-Wafi bil Wafayat 1/2983.
3 Fatawa al-Imam as-Subki 1/198.
4 An-Nawawi adalah Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Hizam al-Haurani an-Nawawi asy-Syafi’i, Muhyiddin, lahir di Nawa tahun 631 H, menguasai ilmu hadits dan fikih, di antara buku-bukunya adalah Syarh Shahih Muslim, Riyadh ash-Shalihin, al-Adzkar, Raudhah ath-Thalibin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab dan untuk yang akhir ini beliau belum merampungkannya. Wafat di tanah kelahirannya Nawa tahun 676 H. Lihat Thabaqat asy-Syafi’iyah karya as-Subki 8/395-400 dan Wafayat al-A’yan wa Anba Abna` az-Zaman karya Ibnu Khallikan 1/196).
5 Al-Majmu’ 5/197.
6 Diriwayatkan oleh Ahmad 5/231 dan 5/248 dengan dua sanad, keduanya dari Muadz akan tetapi kedua sanad tersebut dhaif. Yang pertama, sanadnya terputus sedang yang kedua, dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Kitab al-Iman Bab Hurmah ash-Shalah no. 2616 dalam sebuah hadits yang panjang, at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Hadits ini memiliki beberapa versi riwayat dari Kaab bin Ujrah di Ahmad 3/321 sanad hadits Kaab di Ahmad ini lebih kuat daripada hadits Muadz dan di at-Tirmidzi Kitab ash-Shalah Bab ma Dzukira fi ash-Shalah no. 614, Ibnu Hibban dalam Bab Dzikru al-Bayan bi anna ash-Shalat Qurban lil Abid Yataqarrabuna biha ila Bari`ihim Jalla wa Ala no. 1723, al-Hakim dalam Mustadraknya Kitab al-Fitan wal malahim 4/468 no. 8302, dishahihkan oleh adz-Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak, namun dalam al-Mustadrak tidak terdapat, “Sebagaimana air memadamkan api.” Penggalan pertama lebih shahih daripada penggalan kedua karena hadits-hadits pendukungnya lebih bayak jumlahnya. Syeikh al-Albani
menshahihkannya dalam Sunan at-Tirmidzi no. 2616 karena mempertimbangkan jalan periwayatannya yang berjumlah banyak. Wallahu a’lam.
7 Al-Kasani adalah Abu Bakar Alauddin bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani al-Hanafi, nisbah ke Kasan sebuah daerah di Turkistan, dijuluki Malikul Ulama, mensyarah at-Tuhfah karya syaikhnya as-Samarqandi sekaligus mertuanya dengan nama Bada`i’ ash-Shana`i’, wafat di Halb tahun 587 H. Lihat al-Jawahir al-Mudhiyyah 4/25, Taj at-tarajim hal. 84 dan Mu’jam al-Muallifin 3/75.
8 Bada`i’ ash-Shana`i’ wa Tartib asy-Syara`i’ 2/7.
9 Diriwayatkan oleh al-Bukhari adari Abu Hurairah Kitab al-Jihad Bab al-Hirasah fil Ghazwi fi Sabilillah no. 2886.
10 Al-Fakhrurrazi adalah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali, seorang imam dalam madzhab asy-Syafi’i, lahir tahun 544 H, penulis kitab at-Tafsir al-Kabir, adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Dalam buku-bukunya terdapat musibah-musibah, kesalahan-kesalahan prinsip, sihir dan penyimpangan-penyimpangan dari sunnah. Semoga Allah memaaafkannya. Kemudian dia wafat di atasjalan yang terpuji dan hanya Allah-lah yang menangani rahasia manusia.” Wafat di Bahrah di hari Raya Idul Fitri tahun 606 H. Lihat al-Wafi bil Wafayat 2/38 dan Thabaqat al-Mufassirin 1/20 no. 119.
11 At-Tafsir al-Kabir 16/81.
Ustadz Kholid Syamhudi adalah alumni Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. Pernah berkuliah di UGM dan Pakistan, sekarang aktif mengajar dan berdakwah di Indonesia. http://klikuk.com/profil-uk/